Ada dugaan bukan hanya Juliari yang ikut menggerogoti paket bansos. Alhasil, nilai paket bansos yang sampai kepada masyarakat konon jauh di bawah angka Rp 300 ribu.
KPK harus bisa mengorek info mendalam terkait dugaan-dugaan tersebut. Caranya tentu dengan memberikan ruang yang "nyaman" bagi Juliari agar bersedia mengajukan diri menjadi justice collaborator (JC).
Demikian juga terhadap Edhy Parbowo. Maraknya perusahaan baru pasca keluarnya kebijakan ekspor benih lobster, harus dibuka secara transparan karena diduga dimiliki atau setidaknya terhubung dengan sejumlah politisi. Salah satunya PT Nusa Tenggara Budidaya milik Fahri Hamzah.
Jika Edhy Prabowo bersedia menjadi JC dengan imbalan tuntutan di bawah 20 tahun penjara tentu lebih banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam kerangka pemberantasan korupsi.
Sebab korupsi sudah mengakar. Fakta menujukkan,pergantian pejabat tidak sertamerta menghentikan praktek korupsi di lembaga tersebut selama akar permasalahannya tetap langgeng. Korupsi di Muara Enim, Sumatera Selatan, Riau dan Kota Medan, Sumatera Utara yang mencetak hattrick kepala daerahnya dicokok KPK, adalah contohnya.
Selama penanganan korupsi hanya menguliti yang tertangkap tangan, tidak dikembangkan ke simpul-simpul lain yang memiliki potensi dan kuasa mengatur terjadinya korupsi, maka berapa lama pun keberadaan KPK, bahkan andai tidak lagi ad hoc, praktek korupsi tetap akan subur di bumi Pancasila tercinta.
Syukur andai Juliari dan Edhy Prabowo mau menjadi whistle blower bagi kasus-kasus lain yang diketahui. Kita akan angkat topi bagi keduanya. Â
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H