Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Cara Mudah Memberangus Buzzer, Maukah Pemerintah?

10 Februari 2021   15:56 Diperbarui: 10 Februari 2021   16:18 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kebebasan. Gambar: Shutterstock melalui kompas.com

Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan yang melegakan di tengah penguatan berbagai peristiwa yang membuat kita deja vu dengan praktek rezim Orde Baru, utamanya terkait kebebasan berpendapat warga bangsa yang sedang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.

"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi," ujar Presiden Jokowi pada Peluncuran Laporan Ombudsman RI Tahun 2020.

Sekretaris Kabinet (Setkab) Pramono Anung Wibowo menguatkan dengan mengatakan pemerintah membutuhkan kritik yang keras dan terbuka agar pembangunan lebih terarah dan lebih benar. Pernyataan Pramono disampaikan melalui akun Youtube Sekretariat Presiden dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional 2021.

Apakah pemerintah menerbitkan aturan yang membatasi kebebsan berpendapat warga bangsa? Tidak ada aturan yang secara eksplisit maupun implisit mengatur hal itu, kecuali Maklumat Kapolri berupa larangan mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait Front Pembela Islam yang telah dibubarkan, baik melalui website maupun media sosial.

Sejumlah organisasi dan penggiat demokrasi pun sudah melakukan protes. Namun Polri menyebut maklumat yang dikeluarkan di akhir masa jabatan Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis tidak bertentangan dengan prinsip kebebasan pendapat.

Namun ketiadaan aturan yang mengekang kebebasan berpendapat sebagai bagian dari pondasi demokrasi, bukan berarti semua baik-baik saja. Ada dua hal yang sangat "mengganggu" dan membuat masyarakat takut melakukan kritik kepada pemerintah.

Pertama, penggunaan UU Informasi dan Transaksi Elektonik (ITE) yang dianggap sebagian kalangan tajam ke pihak-pihak yang mengkrtitik kebijakan pemerintah, namun tumpul ke kubu Istana. Persoalan ini sudah sering disampaikan, namun kondisinya belum berubah.

Kedua, dan ini poin utamanya, keberadaan buzzer, atau influencer bayaran. Permadi Arya alias Abu Janda mengaku dibayar tinggi saat menjadi buzzer Jokowi dalam kontes Pilpres 2019. Meski setelah Jokowi berkuasa Abu Janda mengaku tidak mendapat bayaran lagi, namun narasi dan twit di media sosialnya masih mencerminkan keberpihakannya.

Di media-media online kita juga mudah mendapatkan aktifitas buzzer yang memanfaatkan kolom komentar untuk "menghabisi" pihak-pihak yang sedang tidak satu pandangan dengan kebijakan pemerintah.

Caci -maki dengan bahasa yang jauh dari kepantasan, sedemikian masif tanpa filter. Jika pun ada sangat longgar. Beberapa media online sepertinya memang memanfaatkan kolom komentar untuk mendongkrak pemberitaan dan mungkin juga pendapatan dari Google Adsense.

Belum lagi doxing- penyebaran identitas seseorang dengan tujuan menjatuhkan dan ad hominem alias menyerang karakter di luar konteks perdebatan. Istilah yang lebih sering digunakan untuk kasus semacam ini adalah membunuh pembawa pesan.

Terkait dengan "keinginan" Presiden Jokowi agar masyarakat memberikan kritik, maka di tengah kondisi saat pemerintah harus memastikan dulu penggunaan UU ITE "tidak berat sebelah".

Memberikan jaminan para pengkritik yang didasarkan data dan fakta serta disampaikan dengan benar- minimal memenuhi asas kepatutan dan bebas caci-maki, terbebas dari jerat UU ITE sekali pun ada pihak yang melapor.

Pemerintah juga harus mengeluarkan aturan yang mewajibkan pengguna media sosial memakai identitas- seperti nama, yang sesuai kartu identitas. Dengan demikian, tidak akan muncul tudingan adanya akun-akun anonim yang dikendalikan pihak tertentu, baik istana maupun oposisi.

Dewan Pers dan PWI serta organisasi pers lainnya juga harus berani mengambil tindakan tegas dengan mengeluarkan aturan penggunaan kolom komentar di media online seperti halnya di media cetak (offline). Pengelola media harus memastikan data diri yang benar terkait aktifitas pembacanya di kolom komentar dan menghapus yang tidak pantas.

Pengelola media harus ikut bertanggungjawab dan dikenai sanksi tegas manakala terbukti melakukan pembiaran kolom komentar digunakan untuk ajang caci-maki terhadap pihak mana pun.

Artinya kebebasan berpendapat tetap dijaga, dihormati sebagai prinsip dasar hak asasi manusia, namun tegas melarang penyalahgunaannya. Ingat, caci-maki bukan kritik, bukan pula bagian dari kebebasan berpendapat.

Tanpa dilakukan dua hal di atas, rasa-rasanya lontaran Presiden Jokowi hanya akan jadi pemanis wajah pemerintah. Maysrakat semakin takut melakukan kritik karena dibayangi penjara dan pembunuhan karakter secara brutal.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun