Penyakit utama para penulis opini saat ini adalah kurangnya wawasan akibat malas membaca dan berdiskusi. Tanpa wawasan, tulisan opini menjadi kering dan cenderung tendensius.
Penyakit lain yang harus segera dikikis adalah kegagalan penulis opini memisahkan preferensi politik pribadinya dalam karya tulis.
Dampaknya, tulisan opini tidak lebih dari kampanye brutal untuk mencitrapositifkan tokoh idolanya sekaligus mencitranegatifkan pihak-pihak yang dianggap menjadi lawan tokoh idolanya.
Lebih miris lagi, jika kita menggunakan basis gelaran politik untuk memetakan, di mana seseorang atau tokoh tertentu dijadikan idola bukan karena pemikiran atau prestasinya, melainkan semata karena kesamaan identitasnya, terutama agama dan suku bangsanya.
Tidak mengherankan jika fanatisme yang teruar dalam tulisannya - atau memang sengaja dibangun demikian, sangat kental dengan kebencian, mengabaikan data dan fakta.Â
Bagi penulis semacam ini, kebenaran bukan hal utama, bahkan- andai pun dia tahu ada kebenaran itu, mungkin akan dimasukan dalam tong sampah.
Hal lain yang tidak kalah memprihatinkan, sebagian besar penulis opini saat ini, termasuk di Kompasiana, semata mendasarkan tulisannya dari data sekunder, terutama berita media massa.Â
Padahal kita semua tahu, media massa sekarang ini bukan lagi media perjuangan zaman old yang menjunjung tinggi independensi dan mengharamkan opini dalam beritanya.
Dalam kontestasi elektoral, sejumlah media massa, bukan hanya di Indonesia, terang-terangan memproklamirkan keberpihakannya, sesuatu yang mengingkari roh media massa sebagai pilar kelima demokrasi.
Dampak paling nyata dari hal-hal di atas adalah simplifikasi penilaian atas diri seseorang berdasarkan satu-dua tulisan opininya. Jika menyerang tokoh idolanya berarti musuh dan berlaku sebaliknya. Rekam jejaknya pun diabaikan.
Dunia kepenulisan opini menjadi sangat sempit. Bahkan dalam kadar tertentu menimbulkan ketakutan akan labelisasi mengerikan dan pemutusan pertemanan secara sepihak.