Salah satu kekuatiran jika dilakukan karantina wilayah atau lockdown adalah terjadinya kerusuhan sebagaimana yang sempat terjadi di India. Padahal situasi demikian juga sangat mungkin terjadi andai penanganan penyebaran virus korona atau Covid-19 berlarut-larut tanpa kepastian.
Aksi vandalisme di Kota Tangerang yang bertujuan memprovokasi masyarakat untuk menciptakan kerusuhan membuktikan sudah ada pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan keresahan di tengah masyarakat.
Menurut Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sujana, pihaknya telah menangkap tiga orang yang termasuk dalam kelompok anarko. Kelompok ini tersebar di sejumlah kota di Pulau Jawa termasuk Jakarta dan Bandung.
Dalam aksinya, Rizky, RJ dan RH menulis ajakan untuk berbuat rusuh seperti "sudah krisis saatnya membakar", "mau mati konyol atau mati melawan", dan juga ajakan untuk membunuh orang-orang kaya (kill the rich). Tulisan dengan menggunakan cat semprot (pilok) berwarna hitam di sejumlah titik di Kota Tangerang diketahui dibuat menjelang pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta.
Situasi yang terjadi saat ini sebenarnya sudah dapat diprediksi sejak jauh hari. Sayangnya, kita melihat, para elit tidak memanfaatkan waktu yang ada untuk bersiap menghadapi terjadinya wabah, namun justru "asyik bercanda" sambil melakukan kalkulasi politik.
Kita merasa seperti ada yang tidak ingin proyeknya terganggu jika seluruh sumber daya pemerintah dikerahkan untuk membendung penyebaran wabah. Mereka sibuk membangun narasi yang terkesan menyepelekan keganasan virus korona.
Bahkan setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan sudah ada warga yang positif mengidap Covid-19, tarik-ulur kepentingan dengan nuansa politik masih juga terjadi.
Kini, setelah lebih dari satu bulan sejak pasien pertama diumumkan, jumlahnya sudah berlipat-lipat dan tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan pengumum juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, sampai dengan Sabtu (11/4) ini tercatat sudah 3.842 pasien positif korona, dengan 286 orang dinyatakan sembuh dan 327 orang meninggal dunia.
Sejumlah pihak menduga jumlah sebenarnya lebih dari yang telah diumumkan. Bahkan menurut data riset para ilmuwan yang tergabung dalam SimcovID Team, jumlah pasien yang terdeteksi hanya 3,2 persen. Untuk DKI Jakarta saja, berdasarkan data riset, virus korona diperkirakan sudah menginfeksi 32.000 orang.
Kesimpangsiuran informasi, pernyataan para pemangku kebijakan yang berubah-ubah, adanya anggapan ketidaktegasan menghadapi sebaran virus korona demi kepentingan lain, semisal ekonomi dan politik, turut menyumbang muncul keresahan di tengah masyarakat.
Pertanyaan sampai kapan kondisi ini akan berlangsung, sampai kapan masyarakat bawah bertahan hidup tanpa penghasilan dan hanya mengandalkan bantuan pemerintah, terus bergema dan membutuhkan jawaban segera. Â Â
Di sinilah mengapa pilihan sikap keras, seperti lockdown yang dilakukan sejumlah negara, mendapat dukungan sebagian masyarakat. Sebab kita pesimis, kebijakan pembatasan sosial (social distancing hingga physical distancing) dapat segera menghentikan pandemi virus terkutuk ini.
Kerusuhan yang terjadi di India pada saat awal pemberlakuan lockdown mestinya tidak digunakan sebagai dalil untuk menolak. Faktanya banyak juga negara yang berhasil menerapkan lockdown seperti Italia, Singapura dan juga Malaysia.
Kita paham, lockdown bukan satu-satunya cara untuk mengatasi sebaran virus. Bahkan dengan lockdown pun waktu yang dibutuhkan tidak dapat dipastikan.
Tetapi secara logika, sebaran virus akan lebih cepat diatasi manakala tidak ada mobilitas warga. Sebaliknya, sepanjang masih ada pergerakan warga dari satu wilayah ke wilayah lainnya, maka sebaran virus tak kasatmata ini kemungkinan akan terus terjadi.
Bahwa lockdown akan memaksa warga untuk tetap di rumah, tidak ada aktifitas ekonomi, kita tidak membantahnya. Tetapi bukankah dengan kebijakan pembatasan sosial pun, roda ekonomi sudah lumpuh? Banyak warga yang sudah kehilangan pekerjaan dan penghasilan.
Lalu, kembali kepada pertanyaan, sampai kapan kebijakan pembatasan sosial ini diberlakukan? Kapan pemerintah berhasil mengatasi sebaran virus korona?
Jika tidak segera mendapat jawaban yang pasti, maka keresahan di tengah masyarakat akan terus menumpuk dan mungkin menjadi bom waktu. Kita tidak ingin aksi vandalisme kelompok anarko yang menyeru kerusuhan mendapat tempat, apalagi simpati.
Tetapi munculnya letupan di Tangerang hendaknya dijadikan warning bagi para pemangku kebijakan untuk segara mengambil keputusan yang lebih berani, tanpa direcoki kepentingan-kepentingan yang tidak ada kaitannya dengan upaya penghentian sebaran virus korona.
Jangan sampai karena ingin menyelamatkan satu-dua kepentingan, kita justru menjadi negara terakhir yang dihuni oleh virus asal Wuhan China tersebut.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H