Agar tidak menjadi fitnah atau hoaks, salah satu contoh tulisan yang "tidak baik" namun lolos dan diberi label adalah tulisan yang membahas sebuah kebiasaan warga pendatang di pedalaman Kalimantan yang dikaitkan dengan until tomorrow challenge yang diikuti Nia Ramadhani beberapa waktu lalu. Sepertinya konten tersebut kemudian dihapus, namun sempat nangkring untuk wakru yang cukup lama.
Penulis termasuk yang menolak, bahkan menentang, pembatasan konten atas nama apa pun. Tetapi menjadi miris manakala kreator atau penulis tidak memiliki filter sendiri (self-correction) Â untuk memastikan konten atau tulisan yang dibuatnya tetap memenuhi kaidah kepatutan dan kesopanan secara umum.
Benar, sejak beberapa tahun terakhir soal demikian sudah luntur dan mungkin memang sengaja dilunturkan. "Kampanye" tidak apa-apa (berbuat/berkata) kasar, asal bersih, pernah menjadi tagline yang sempat hits.
Tetapi bahkan platform seperti YouTube tetap memiliki filter yang bertujuan untuk tidak mendukung hal-hal demikian itu. Konten yang disertai dengan umpatan, bahkan sekedar diselipkan dalam bentuk tulisan, tidak akan diberi ruang. Bukan sekedar tidak diberi iklan, jika dilakukan berulang channel yang bersangkutan bisa di-banned.
Dalam Syarat dan Ketentuan  Kompasiana, hal-hal demikian itu juga secara tegas dilarang, termasuk memposting ulang tulisan yang telah dihapus. Namun, lagi-lagi, penulis terkadang (ataukah ini semata halusinasi penulis?) masih menemukan ada tulisan yang sudah dihapus oleh penulisnya, lalu beberapa waktu kemudian diunggah kembali dan tetap lolos.
Beranikah Kompasiana tidak memberikan atau membatasi monetisasi tulisan-tulisan yang tidak memenuhi kaidah umum, terlebih Syarat dan Ketentuan Kompasiana sendiri? Pasti berani!
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H