Kapolri menerbitkan Surat Telegram bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 tentang pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan Covid-19. Telegram tertanggal 4 April 2020 yang ditandatangani Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo tersebut mendapat kritik tajam dari sejumlah pihak.
Salah satunya dari Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu. Poin yang dikritik adalah instruksi Kapolri Jenderal Idham Azis agar anggotanya melaksanakan patroli siber untuk memonitoring berita dan opini hoaks terkait kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19.
Dalam telegram tersebut seperti dikutip dari KOMPAS.com, berbunyi "Masyarakat yang menghina Presiden Joko Widodo dan pejabat pemerintah lainnya dalam menangani Covid-19 di media sosial dapat terancam sanksi pidana". Â Â
Warga yang melakukan penghinaan  sebagaimana dimaksud dalam telegram tersebut akan dijerat dengan pasal 207 KUHP.
ICJR menuding pandemi korona dijadikan momen oleh aparat penegak hukum untuk membungkam kebebasan berpendapat secara eksesif dengan pasal-pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik serta KUHP. Â
Terlebih, menurut Napitupulu, pasal-pasal dalam KUHP yang berkenaan dengan  penghinaan terhadap presiden yakni pasal 134, 136, dan 137 KUHP telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Sementara anggota Fraksi PPP di DPR, Arsul Sani mengingatkan agar kepolisian tidak bertindak sewenang-wenang dan tetap memperhatikan prinsip due process of law yakni proses hukum yang baik, benar dan adil.
Terkait poin penghinaan terhadap presiden, Arsul mengingatkan keberadaan Surat Edaran Kapolri Nomor 6 Tahun 2015 yang mewajibkan anggota Polri untuk melakukan pencegahan sebelum penindakan hukum terhadap kasus ujaran kebencian dan oenyebaran hoaks. Â
Keberadaan surat telegram Kapolri nomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 menjadi menarik di tengah perseteruan yang terjadi antara Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dengan mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu (MSD).
Kasus ini berawal ketika MSD mengungah video di YouTube berjudul MSD: Luhut Hanya Pikirkan Uang, Uang dan Uang. Â LBP melalui juru bicaranya, Jodi Mahardi, memberi waktu 2x24 jam agar MSD meminta maaf.
Namun ternyata sampai batas waktu yang diberikan, MSD menolak meminta maaf, dan hanya mengirim surat klarifikasi. LBP pun akan membawa kasus ini ke jalur hukum. Â Â
Jika mengacu pada isi telegram Kapolri di atas, mungkinkah MSD termasuk yang dapat dijerat dengan pasal pidana? Sebab opini MSD terkait dengan tudingan "ketidakseriusan" LBP dalam menangani penyebaran virus korona.
Jika dapat dijerat sesuai bunyi telegram Kapolri, berarti LBP tidak perlu mengadukan kasusnya karena Polri dapat langsung melakukan penindakan hukum. Tetapi jika tidak bisa, berarti LBP tetap harus melaporkan karena kasus ini termasuk delik aduan.
Kita tidak sepenuhnya sependapat dengan ICJR karena ada kondisi tertentu yang memang membutuhkan penanganan di luar kondisi normal. Perspektif yang kita gunakan mestinya juga dilandasi situasi kedaruratan akibat wabah Covid-19.
Namun bukan berarti dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Bahkan dalam kondisi perang sekali pun, proses hukum tetap harus dilaksanakan dengan benar dan memenuhi rasa keadilan. Bukankah itu tujuan hukum, mencari kebenaran dan keadilan, bukan menjadi perpanjangan tangan penguasa?
Terlepas pro-kontranya, alangkah baiknya jika seluruh warga bangsa juga menyadari bahwa hoaks, opini tanpa dasar, apalagi menjurus fitnah, tidak diperbolehkan, apa pun situasi dan kondisinya. Jangan sampai kebebasan berpendapat, menyuarakan aspirasi di muka umum yang dijamin konstitusi menjadi alas untuk menebar hoaks dan kebencian. Â
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H