Menteri Koordinator bidang kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) sudah membaca surat klarifikasi yang dikirim mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said  Didu (MSD). Mengapa LBP dan juru bicaranya, Jodi Mahardi malah bingung?
"Mungkin memang kita "rada-rada dungu" kalau pinjam istilah Pak Said Didu. Ngga paham suratnya itu apakah minta maaf atau apa," ujar Jodi seperti dikutip utuh dari KOMPAS.comÂ
Jodi memastikan, bosnya sudah membaca surat tersebut dan tetap akan melanjutkan proses hukum. Namun diakui Jodi, LBP bingung dengan isi surat MSD yang berisi 4 poin klarifikasi. Menurut Jodi, LBP tidak memberikan komentar apa pun.
Poin paling menarik dari surat klarifikasi itu ada di poin keempat di mana MSD mengaku oponinya dalam video berjudul "MSD: Luhut Hanya Pikirkan: Uang, Uang dan Uang" bukan kepentingan prinbadi namun kritik kepada aparatur negara  agar fokus pada kepentingan rakyat.
Seperti diketahui, sebelumnya Jodi memberi waktu 2x24 jam kepada MSD untuk meminta maaf terkait unggahan video di channel YouTube miliknya. Jika menolak, Jodi mengancam akan membawa kasus itu ke jalur hukum. Â
Dua hari kemudian MSD justru memberikan surat klarifikasi. Menariknya, dalam surat klarifikasi sebagai jawaban atas surat yang dikirim LBP sebelumnya, tidak ada sedikit pun frasa terkait permintaan maaf sehingga wajar jika LBP dan jubirnya bingung.
Baca juga : Menilik Kritik Keras IJCR terhadap Polri dari Kasus Luhut - Said DiduÂ
Terlepas dari itu, kita berharap kasus ini dapat diselesaikan dengan baik. salah satunya melalui jalur hukum jika pihak LBP merasa opini yang dibuat MSD tidak berdasar fakta dan data yang benar. Pangadilan menjadi ruang yang ideal untuk saling mengklarifikasi sehingga masyarakat dapat memahami duduk persoalannya secara jernih. Siapa pun yang bersalah harus mendapat ganjarannya.
Hal ini penting sebagai bagian dari pembelajaran masyarakat. Opini atau sikap warga masyarakat tidak  perlu diberangus dengan pendekatan keamanan, langsung ditangkap dan akhirnya "meminta maaf" karena sudah berada dalam posisi terjepit (baca: dipenjara).
Biarkan proses peradilan yang transparan berjalan tanpa disertai rasa ketakutan satu pihak. Manakala pembuat opini atau mungkin status di media sosial- salah, silakan dihukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebaliknya, jika opininya memang berdasarkan data dan fakta yang benar, harus juga dihargai sebagai bagian dari kebebasan warga bangsa menyampaikan pendapat dan aspirasinya yang dilindungi konstitusi. Bahkan harus dijadikan koreksi oleh pemangku kebijakan agar tujuan berbangsa dan bernegara dapat segera tercapai.
Kita telah sepakat untuk membangun negeri ini dengan sistem demokrasi. Mestinya tidak ada lagi tekanan, ancaman atau frasa lain yang mengarah pada pemberangusan hak warga bangsa untuk ikut berpartisipasi, termasuk mengawasi, jalannya pemerintahan, termasuk kebijakan-kebijakan yang diambil.
Jangan biasakan para pemangku kekuasaan memberikan warning atau ancaman hanya karena ada pihak yang mengusik kebijakannya.
Lakukan itu hanya kepada pihak-pihak yang menebar fitnah, mengkritik tanpa data, menghujat apalagi menyebar hoaks. Sepanjang tidak memenuhi unsur demikian itu, tidak perlu menggunakan tangan kekuasaan untuk menakut-nakuti  warga bangsa yang kebetulan bersikap kritis. Â
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H