Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

PSBB Jakarta dan 3 Tantangannya

7 April 2020   11:17 Diperbarui: 8 April 2020   16:32 3624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kementerian Kesehatan akhirnya menyetujui usulan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diajukan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Bukan hanya ketersediaan pangan dan faktor keamanan, ada tantangan lain yang tidak kalah berat untuk memastikan keberhasilan kebijakan PSBB di Jakarta.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo menolak lockdown dan memilih opsi PSBB bagi daerah-daerah yang memenuhi persyaratan tertentu. Untuk menjabarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dan Keppres Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dalam rangka percepatan penanganan Covid-19, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto lantas menerbitkan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020.

Salah satu poin penting agar permohonan daerah untuk melakukan PSBB disetujui adalah kesiapan daerah sebagaimana diatur Pasal 9 ayat 2 yang selengkapnya berbunyi:

"Penetapan PSBB juga mempertimbangkan kesiapan daerah dalam hal-hal yang terkait dengan ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan, ketersediaan anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial untuk rakyat terdampak, dan aspek keamanan".

Berdasar pasal ini, maka Pemprov Jakarta harus menyediakan anggaran operasional jaring pengaman sosial. Sebelumnya sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi dalam ratas, DKI sudah menyediakan anggaran jaring pengaman sosial berupa pemberian dana Rp 1 juta untuk 1,1 juta warga terdampak dari total 3,6 juta. Jokowi lantas meminta jajaran terkait di pusat untuk membantu sisanya.

Dari sisi ini sepertinya tidak ada masalah. Terlebih Anies telah menjamin ketersediaan bahan pokok untuk waganya hingga 2 bulan mendatang. Tinggal validasi data dan teknis distribusi mengingat semuanya harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan social distancing.

Tantangan terberat justru pada kepatuhan warga DKI sendiri. Sebab setidaknya ada tiga kelompok warga yang berpotensi menjadi penyebab kegagalan kebijakan PSBB di Jakarta.

Pertama, kelompok warga yang menolak PSBB karena berhubungan dengan mata pencahariannya. Salah satunya dari ojek aplikasi yang akan dilarang mengangkut penumpang saat PSBB. Ojol hanya diperbolehkan mengangkut barang dengan syarat tertentu.

Ketua Presidium Nasional Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono menuntut tiga hal terkait penerapan PSBB, di mana salah satunya meminta diberi bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100 ribu perhari.

Tuntutan ini sangat mungkin akan ditolak. Pemerintah hanya akan memberikan BLT kepada warga terdampak yang memenuhi syarat, bukan berdasar profesi. Sebab jika didasarkan pada profesi tertentu, akan menimbulkan gejolak karena hampir semua profesi terdampak pandemi Covid-19.

Kedua, kelompok masyarakat yang menolak PSBB karena dukung-mendukung politik. Kelompok ini sangat getol menyerang apa pun kebijakan Anies dalam upaya meminimalisasi sebaran virus korona.

Bahkan mereka tega mempersoalkan pemberian fasilitas penginapan di hotel untuk para dokter dan tenaga medis dengan sebuah argumen "bodoh", karena mempertanyakan kaitan pemberian fasilitas dengan jaminan masyarakat Jakarta tidak terinfeksi virus korona.

Mereka lupa atau mungkin tidak tahu apa tugas dokter dan paramedis, dan mengapa kebijakan itu diambil. Jeritan para dokter yang tidak bisa pulang karena takut membawa virus ke rumah, diusir dari kontrakan sehingga terpaksa tidur di ruang perawat, tidak cukup untuk menahan kenyinyirannya.

Kelompok ketiga, paham namun menganggap remeh pandemi. Kelompok ini paling berbahaya karena sudah terkontaminasi paham konspirasi. Kematian puluhan ribu orang dalam sekejap tidak akan bisa membuka nuraninya.

Jangankan berempati, sekedar untuk diam di rumah pun mereka enggan. Terlebih sejak awal banyak pejabat tinggi yang meremehkan pandemi corona dan dianggap sebagai lelucon sehingga dijadikan alas pembenar sikapnya.

Kelompok ini sibuk membanding keganasan korona dengan penyakit lain, menuding upaya pencegahan sebagai sikap paranoid, dan menertawakan mereka yang berjuang menghalau pandemi.

Lebih miris lagi ketika secara eksplisit menyebut kematian ribuan orang tidak berarti apa pun, karena hanya deret angka.

Kita berharap penerapan PSBB di Jakarta dapat segera dilakukan dengan ketat dan tegas. Sebab jika kondisi saat ini dibiarkan tanpa kepastian, tanpa tindakan yang lebih ketat, dampaknya justru akan sangat berbahaya, melebihi lockdown.

Mungkin akan timbul persoalan di awal, seperti India, tetapi itu bukan alasan untuk menunda-nunda penerapan PSBB.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun