Presiden Joko Widodo membuat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan disertai penerbitan Kepprres Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) dan Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Sebelumnya Presiden Jokowi sempat menyebut PSBB perlu didampingi dengan adanya kebijakan darurat sipil. Sejumlah pihak, termasuk Komnas HAM, langsung melakukan penolakan. Belakangan, Jokowi mengatakan darurat sipil baru merupakan opsi dan akan diterapkan jika terjadi kondisi abnormal. Â
Apakah Presiden keseleo lidah (slip of tongue) ketika menyebut darurat sipil karena yang kemudian diterapkan adalah  kedaruratan kesehatan? Terlebih Menko Polhukam Mahfud Md tegas membantah pemerintah tidak akan menggunakan darurat sipil sebagaimana amanat Perppu Nomor 23/Prp Tahun 1959 untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Namun andai pun benar demikian, bukan masalah besar karena yang terpenting saat ini tidak ada pemberlakuan darurat sipil karena memang tidak tepat baik secara perundang-undangan maupun sasaran yang hendak dituju.Â
Pertanyaan kita kemudian, seberapa efektifkah PSBB dan KKM? Menurut UU KeKarantinaan Kesehatan. Pasal 1 ayat 11 "Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi".
Poin paling penting PSBB terdapat di pasal 59 ayat 3 di mana disebutkan PSBB paling sedikit meliputi adalah peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan juga pembantasan kegiatan di tempat atau fasilitas publik.
Kedua hal tersebut tidak berbeda jauh dengan isi PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB yang telah ditandatangani Presiden Jokowi.
Baca juga : PSBB untuk Melegitimasi atau Membatalkan Lockdown?Â
Dilihat dari situ, jelaslah secara umum PSBB bukan hal baru karena sebenarnya sudah dilakukan selama hampir tiga minggu terakhir, terutama di Solo dan Jakarta yang paling awal melakukan kebijakan pembatasan sosial.
Bahkan imbauan yang diberlakukan sudah jauh lebih ketat dengan penerapan physical distancing alias menjaga jarak aman.
Terkait ketertiban dan tindakan terhadap masyarakat yang membandel, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis telah mengelurkan Maklumat Nomor Mak/2/III/2020 tertanggal 19 Maret 2020. Maklumat itu menjadi payung hukum anggota kepolisian untuk menindak masyarakat yang melanggar kebijakan social distancing.
Yang diperlukan saat ini hanyalah penutupan wilayah pandemi secara total agar tidak menyebar ke wilayah lain. Selama wilayah pandemi, berstatus zona merah, tetap dibuka, terlebih pergerakan warganya tetap difasilitasi dengan angkutan publik, mungkin tidak salah yang mengatakan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia sangat buruk.
Kucuran dana hingga Rp 405 triliun lebih untuk penanganan dan penanggulangan dampak wabah virus korona, sangat tepat. Kita berharap akan tepat sasaran dan dapat membantu meringankan kelompok warga yang terdampak secara langsung akibat kebijakan pembatasan sosial.
Namun ingat, menghentikan sebaran virus secara cepat dan tepat jauh lebih dibutuhkan. Jangan sampai hal-hal demikian dikorbankan karena alasan-alasana sepele, semisal gengsi kekuasaan.Â
KIta tidak ingin Presiden mengulang-ulang pernyataan untuk melakukan karantina wilayah merupakan kewenangan pusat sementara semakin banyak daerah yang melakukannya meski dengan istilah-istilah lain. Â
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H