Doni Monardo lantas menegaskan, Presiden Jokowi telah menginstruksi kepada Gugus Tugas untuk tidak ada lockdown. Artinya, jika ada daerah yang ingin menutup wilayahnya dan mengajukan ke pusat sebagaimana disampaikan Mendagri Tito Karnavian sebelumnya, dipastikan akan sia-sia.
Dari sinilah kita dapat merasakan kuatnya kepentingan politik kedua kubu.
Kubu kontra lockdown sepertinya takut jika penutupan wilayah akan menjadi trigger terjadinya kerusuhan massal. Sebab meski Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan anggaran tersedia jika terpaksa lockdown, tetapi kesiapan distribusi logistiknya diragukan.
Lockdown juga akan berarti terhentinya kegiatan ekonomi secara total. Hal itu dapat mendorong rupiah terjun bebas. Padahal saat ini saja sudah menyentuh Rp 16 ribu per dolar Amerika Serikat, terburuk dalam 20 tahun terakhir. Belum lagi bayang-bayang resesi dan krisis moneter yang sangat mungkin diikuti krisis ekonomi.
Kemungkinan, hal-hal demikian itu yang menjadi pertimbangan utama pemerintah dan kubu yang menolak dilakukan penutupan wilayah.
Sedang bagi kubu pro lockdown, keselamatan manusia harus diutamakan. Jika pun terjadi keterpurukan ekonomi, masih dapat dibangkitkan kembali di masa depan.
Irisan dari kedua kubu ada pada seberapa kuat pemerintah bertahan jika lockdown diberlakukan atau jika tidak diberlakukan. Sebab, jika pun tidak ada lockdown namun pembatasan sosial terus terjadi melewati waktu 14 hari, atau jika setelah 14 hari ternyata sebaran virus korona masih mengganas sehingga social distancing ditambah, bayang-bayang yang kita takutkan bersama dapat juga terjadi.
Bahkan mungkin lebih tidak terkontrol. Â
Salam @yb