Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menakar Nasib Demokrat di Tangan AHY

16 Maret 2020   11:17 Diperbarui: 17 Maret 2020   06:02 2035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AHY mendampingi SBY dalam sebuah kegiatan. Foto: KOMPAS.com/Antara

Suksesi pucuk pimpinan Partai Demokrat berlangsung mulus setelah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) terpilih secara aklamasi menjadi ketua umum menggantikan ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun sepertinya sulit bagi AHY untuk mengembalikan kejayaan partai pemenang Pemilu 2009 tersebut. 

Naiknya AHY sudah diprediksi sejak jauh hari. Setelah "dipaksa" keluar dari dinas militer dengan pangkat terakhir mayor, nama AHY langsung dilekatkan dengan suksesi Demokrat. AHY diberi posisi strategis sebagai Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma). Badan otonom ini dibentuk secara khusus untuk AHY karena sebelumnya tidak dikenal dalam AD/ART Demokrat.

Untuk memantapkan namanya agar sejajar dengan politisi lain, SBY (baca: Demokrat) lantas mengusung AHY yang masih "gagap politik" ke pentas Pilgub DKI Jakarta 2017. SBY juga terkesan menjadikan AHY sebagai alat tawar dukungan kepada calon presiden di Pilpres 2019, meski hal itu selalu dibantah.

Safari politik yang dilakoni AHY dengan salah satunya mengunjungi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, hanya sedikit menambah jam terbang politiknya tapi belum cukup sebagai modal untuk menakhodai Partai Demokrat. Aura AHY tidak terpancar, atau mungkin belum, sehingga ruang politik Demokrat masih dipenuhi kharisma SBY.

Dari gambaran itu maka sulit bagi AHY untuk mengembalikan kejayaan partai. Sedikitnya ada 5 hal yang akan menghambat laju Demokrat di tangan AHY.

Pertama, nepotisme. Meski bukan barang haram karena juga dilakukan partai lain, tetapi faktor nepotisme dalam tubuh partai ibarat bom waktu. Sulit untuk tidak mengatakan AHY terpilih karena anak SBY.

Kedua, bayang-bayang kasus korupsi yang sempat membelit sejumlah kader top Demokrat, dari mantan ketua umum Anas Urbaningrum, mantan bendahara umum M. Nazarudin hingga figur Angelina Sondakh. Sulit bagi AHY untuk menghapus jejak itu.

Baca juga : Menanti Suksesi Demokrat dan Keberanian SBY 

Ketiga, kurang jam terbang. Seperti diuraikan di atas, AHY baru menjejak dunia politik tahun 2017, belum genap tiga tahun. Kita tidak meragukan kecerdasan dan kemampuan adaptasinya dari militer ke sipil, dari nonpartisan hingga kemudian menjadi kader dan pengurus partai.

Hanya saja, sejauh ini AHY belum pernah membuat gebrakan atau menguarkan ide yang dapat menjadi daya pikat publik. Pidato politiknya masih datar (sekedar tidak mengatakan standar), sementara pendekatan yang dilakukan, jika dilihat dari roadshow ke daerah, masih kaku dan bersekat.

Alangkah baiknya jika dalam setiap kunjungan ke daerah AHY berinteraksi secara langsung dengan kelompok masyarakat, terutama kaum milenial.

Keempat, figur SBY. Demokrat adalah SBY dan berlaku sebaliknya. Asumsi demikian masih ada hingga hari ini dan mungkin sampai selesai kepemimpinan AHY.

Pernyataan SBY usai menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada AHY bahwa pemimpin lama tidak akan ke mana-mana dan dibalas AHY dengan mengatakan Demokrat masih membutuhkan sentuhan SBY, menjadi alas argumennya.

Kelima, SBY dan Demokrat masih dianggap sebagai seteru Presiden Joko Widodo dan juga PDI Perjuangan. Dua kali dikandaskan SBY dalam gelaran Pilpres 2004 dan 2009 membuat Megawati bersikap kalis. Tidak tampak memusuhi namun juga enggan akrab. SBY pernah terang-terangan mengatakan hubungannya dengan Jokowi "terganjal" oleh sikap Megawati. 

AHY akan mewarisi "perseteruan" abadi itu. AHY belum cukup memiliki modal untuk memutusnya meski sudah "diterima dengan baik" saat berkunjung ke kediaman Megawati.

Untuk meminimalisasi "gangguan-gangguan" di atas, tidak ada cara bagi AHY selain keberanian untuk melepas bayang-bayang SBY. Untuk mengetahui apakah AHY berani melakukan hal itu atau tidak dapat dilihat dari susunan pengurus akan segera dibentuk.

Jika nantinya SBY masih memegang posisi ketua Dewan Pembina atau Majelis Tinggi seperti sekarang ini, maka suksesi Demokrat akan sia-sia.

Pihak luar, bahkan mungkin internal, tetap akan lebih mendengar suara SBY dibanding AHY. Dengan demikian, ambisi AHY untuk mengembalikan kejayaan Demokrat melalui 10 program yang dicanangkan, tak lebih hanya program utopia.   

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun