Mahkamah Konstitusi (MK) membuka peluang dilaksanakannya Pilkada Serentak 2022, termasuk untuk DKI Jakarta. MK hanya mengharuskan Pemilu Serentak untuk memilih anggota DPR, DPR, Presiden dan Wakil Presiden.
Putusan MK terhadap uji materi tentang keserentakan pemilu yang dimohonkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tersebut diketok, Rabu kemarin. Menurut MK, pemilu yang konstitusional adalah dengan tidak memisahkan pemilihan anggota DPR, DPD dan Pilpres. Hal itu dimaksudkan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia.
Sayangnya putusan judicial review terhadap Pasal 167 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 201 Ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, kurang tegas terkait apakah Pemilu Serentak harus dipisahkan atau dibarengkan dengan Pilkada.
Sebab, MK memberikan enam model pemilihan di mana salah satunya adalah dengan menggabungkan Pemilu Legisatif, Pilpes dan Pilkada. Artinya model manakah yang akan diambil, apakah memisahkan Pileg dan Pilpres dengan Pilkada ataukah menggabungkannya, diserahkan kepada pemangku kebijakan.
Dengan adanya putusan MK, maka perubahan UU Nomor 10 2016 sangat dimungkinkan dan akan melahirkan pertarungan yang keras antara kubu yang pro dengan penggabungan Pemilu, Piipres dan Pilkada dengan pihak yang menentangnya. Terlebih MK juga mempersilakan varian lain sepanjang tetap menggabungkan Pileg dan Pilpres.
Bagaimana konsekuensinya ke daerah, terutama yang masa jabatan kepala daerahnya habis tahun 2022 seperti DKI Jakarta?
Kubu pemerintah tentu akan berusaha kembali ke wacana awal dengan menggabungkan seluruh pemilihan sehingga terhadap daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir di 2022 dapat ditempatkan pejabat sementara yang didrop dari Kementerian Dalam Negeri.
Tetapi partai-partai politik yang memiliki perwakilan di DPR, terutama yang tidak berada di kubu pemerintah seperti PKS, Demokrat dan PAN kemungkinan akan menentang. Bahkan Gerindra dan Nasdem kemungkinan juga akan berbeda sikap dengan pemerintah demi mengamankan Pemilu dan Pilpres 2024.
Sebab jika terlalu banyak daerah yang diisi pejabat sementara, tentu akan "menguntungkan" PDIP sebagai partai utama pemerintah. Bukan hanya untuk Pileg, namun juga Pilpres. Meski hal ini mungkin hanya asumsi, tetapi tetap akan menjadi bahan kalkulasi lawan-lawan politik PDIP.
Dari sisi ini, maka mengawal pelaksanaan revisi UUI Pemilu menjadi sangat penting. Kita berharap revisi tidak dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan kelompok tertentu, apalagi melanggengkan kekuasaan.
Revisi UU Pemilu harus dilandasi semangat untuk penguatan demokrasi dalam kerangka sistem presidensial dan terjaminannya regenerasi kepemimpinan yang sehat, jujur, adil dan bermartabat. Â
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H