Nasib 600 (ada yang menyebut 660) orang WNI yang pernah bergabung dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) semakin tidak jelas. Pro-kontra bukan hanya terjadi di luar Istana, namun juga di antara pembantu Presiden Joko Widodo.
Terlebih Presiden Jokowi sendiri sepertinya sengaja melempar wacana untuk menjaring aspirasi masyarakat ketika mengatakan dirinya tidak setuju dengan pemulangan 600 orang tersebut, namun hal itu belum dibahas dalam rapat.
Artinya, meski Presiden tidak setuju, namun bisa saja setelah dilakukan rapat terbatas dengan para pembantunya dan lembaga terkait, keputusan akan berbeda.
Mengapa sangat sulit, setidaknya jika mengikuti "perdebatan" di ruang-ruang publik, memutuskan nasib 600 orang itu? Benarkah karena banyak yang lebih mengedepankan sentimen politik- juga hal lain, di luar ketentuan UU?
Jika ingin disederhanakan, sebenarnya pemerintah tidak perlu melakukan tes ombak, mengukur reaksi masyarakat, dalam mengambil keputusan. Pemerintah dapat langsung mengambil keputusan untuk menyudahi polemik di media. Tetapi entah apa yang merasuki, pemerintah sepertinya lebih senang membiarkan isu ini semakin liar.
Mari kita bantu pemerintah dengan menjawab 6 pertanyaan ini. Gunakan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sebagai dasar jawaban. Jangan gunakan asumsi, apalagi didasari kebencian karena preferensi politik, sentimen keagamaan atau fobia pada isu-isu di luar konteks.
Pertama, apakah Indonesia mengakui ISIS sebagai negara?
Kedua, apakah mereka yang menjadi kombatan pemberontak di negara lain, dengan bahasa berbeda, menjadi tentara bayaran, secara otomatis sudah berpindah kewarganegaraannya?
Ketiga, apakah ketika kepala keluarga (bapak) kehilangan kewarganegaraan, secara otomatis hal yang sama berlaku untuk istri?
Keempat, apakah jika orang tuanya (bapak dan ibu) berpindah kewarganegaraan, anaknya secara otomatis kehilangan status kewarganegaraan Indonesia (WNI)?
Kelima, apakah tidak mengakui simbol negara (seperti merobek paspor) secara otomatis menghilangkan haknya sebagai WNI?