Bahkan ketika diam pun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswesdan salah. Jadi untuk apalagi membuka ruang komunikasi jika satu pihak sudah memiliki kesimpulan lawan sudah salah, bahkan sebelum kasus yang dipersoalkan lahir. Â
Perdebatan hanya efektif dilakukan manakala dua pihak masih menyisakan ruang rasionalitas sehingga memungkinkan terjadinya perubahan pendapat setelah melihat fakta dan data yang dibeber lawan. Tanpa hal itu, sikap diam menjadi sebentuk perlawanan terbaik. Lawan dibiarkan bermain sendiri hingga akhirnya kebingungan.
Hujatan dan serangan ke Anies sudah terjadi bahkan sejak hari pertama dilantik. Anies dilaporkan ke polisi karena menyebut kata "pribumi" dalam pidato usai pelantikan. Setelah itu, tidak ada satu pun kebijakan Anies yang dianggap benar oleh lawan politiknya.
Tentu bukan suara nitizen yang dimaksud di sini. Bukan pula opini abal-abal dengan taburan hoaks. Anies tidak pernah mempersoalkan hal-hal demikian. Tidak ada penggunaan kekuasaan untuk melawan nitizen demikian, sebagaimana dilakukan tokoh-tokoh lain. Jangankan sekedar makian "binatang", ancaman hendak dibunuh pun tidak membuatnya menggunakan alat kekuasaan lain untuk membungkamnya.
Lawan politik di sini tentu mengacu pada dua kutub yakni DPRD DKI sebagai mitra kerja eksekutif dan pemerintah pusat sebagai pembina pemerintah daerah.
Suara-suara yang terlontar dari gedung DPRD senantiasa jauh dari semangat kemitraan. Ghirah untuk menjatuhkan, mendiskreditkan, menjadi panglima sehingga tidak ada hal-hal konstruktif yang dapat diambil sebagai bahan kajian dalam kebijakan selanjutnya.
Contohnya dalam pembahasan rancangan APBD beberapa waktu lalu. Sekeras-kerasnya anggota DPR mengkritik Presiden Joko Widodo di awal pemerintahannya yang pertama, politisi lawan tidak sampai merusak tatanan yang sudah menjadi kewajibannya. Pembahasan APBN tetap dalam koridor saling menghargai. Anggota-anggota DPR dari kubu oposisi tetap menjaga marwah dan etika politik dalam melakukan pembahasan dan pengawasan APBN.
Hal itu sama sekali tidak tercermin di DPRD DKI. Meski hanya segelintir politisi "kemarin sore" yang masih membutuhkan banyak panggung agar dianggap bekerja, cara yang dilakukan sungguh barbar karena jauh dari etika. Bagaimana mungkin sebuah usulan anggaran dijadikan objek untuk menyerang secara brutal- dinarasikan seolah sudah terjadi, padahal itu adalah tugas mereka untuk membahasnya. Â
Jika akhirnya sikap demikian mendapat perlawanan justru dari mitra oposisi sendiri karena eksekutif  mendiamkannya, bahkan "mentertawakan", tanpa malu-malu mereka berlalu sambil bertepuk dada karena merasa sudah membukukan sebuah investasi politik.
Demikian juga pada kebijakan-kebijakan lain. Teror terhadap kebijakan eksekutif (baca: Anies) terus diproduksi tanpa mau melihat substansi, apalagi data-data yang ada.
Mari kita lihat dalam kasus revitalisasi Monas. Narasi pertama yang teruar adalah pelanggaran karena menebangi pohon, hingga kantor perusahaan pemenang tender yang disebut tidak layak mengerjakan proyek senilai milyaran rupiah.