Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Waspadai Provokasi Australia Lewat Isu Natuna

7 Januari 2020   08:19 Diperbarui: 7 Januari 2020   09:27 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bendera Australia. Foto: KOMPAS.com/Thinkstock

Hubungan Indonesia - Australia sering mengalami pasang-surut. Australia selalu ingin tahu, bahkan terkesan ingin mencampuri, urusan dalam negeri Indonesia, semisal di Papua. Terkait kisruh di Natuna, rupanya Australia pun gatal jika tidak ikut "berkomentar".

Masih ingat dengan kasus penyadapan terhadap nomor telepon First Lady Ani Yudhoyono  oleh intelijen Autralia tahun 2009 yang dibeber The Australian? Salah satu alasan penyadapan itu adalah karena (almarhumah) Kristiani  Herawati, demikian nama istri Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, dianggap  memiliki pengaruh luar biasa dalam setiap keputusan yang diambil suaminya.

Sepertinya, secara naluriah badan-badan intelijen  Australia, termasuk Australia Defence Signals Directorate (DSD), memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap dinamika di Jakarta.

Posisi Indonesia bagi Australia memang cukup strategis. Salah satu alasan klasiknya tentu karena Indonesia adalah tetangga terdekat di bagian utara sehingga jika kondisinya tidak aman, bergejolak, maka Australia kemungkinan akan terkena dampaknya.  

Indonesia juga memegang peranan strategis bukan hanya di kawasan Assean namun juga di Indo-Pasifik. Adalah  wajar jika Australia berusaha memperkuat kerja sama dan hubungan bilateral dengan Indonesia dalam rangka memastikan keamanan dan juga stabilitas politik di kawasan Indo-Pasifik.

Maka tidak terlalu mengejutkan manakala Australia juga ingin mengetahui sikap Indonesia menyusul klaim China di Natuna Kepulauan Riau,  karena sangat mungkin akan menentukan hubungan bllateral kedua negara.

Namun  bukan hanya ingin tahu, Australia juga tentu sedapat mungkin "ikut" menentukan hasil akhir yang menguntungkan negaranya.  Salah satunya dengan memberikan "provokasi" melalui analisa seperti yang dilakukan lembaga riset Australia, Lowy Institute Foreign Policy.

Meski bukan lembaga resmi pemerintah, namun hasil analisas tersebut kiranya dapat juga dijadikan "pintu" untuk sedikit memahami sikap Australia terkait hubungan Indonesia -- RRC.

Pada intinya, ada tiga hal yang dijadikan kesimpulan dari analisa Lowy Institute Foreign Policy terkait hubungannya dengan RRC.

Pertama, Presiden Joko Widodo tidak tertarik untuk berbicara atas nama kawasan Asia Tenggara (ASEAN) sebagaimana yang dilakukan SBY.  Jokowi hanya fokus pada bagaimana menarik investasi dari China untuk mendukung program pembangunan infrastuktur di dalam negeri.

Kedua, Sikap Indonesia membuka ruang bagi China untuk melakukan pelanggaran kedaulatan negara-negera anggota Asean karena tidak menghadapi kekuatan kawasan.

China begitu leluasa "mencaplok"Kepulauan  Spratly yang masih disengketakan sejumlah negara Asean, termasuk Taiwan. China juga mencampakkan putusan Pengadilan Arbitrase yang memenangkan Filipina dalam kasus kepemilikan kepulauan di Laut China Selatan itu.

Ketiga,  Sikap Jokowi mungkin akan berubah jika China tidak menepati janji investasinya, terus-menerus menunjukan sikap ingin mencaplok Natuna, atau mengambil sikap ingin mengintervensi dalam memberikan perlindungan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia dari bahaya kekerasan massa.

Tiga "kesimpulan" yang diletakkan sebagai kata kunci pencarian (key findings) tersebut cukup provokatif.

Pertama, seolah Jokowi abai terhadap Asean dengan hanya membawa kepentingan  Indonesia dalam menjalin hubungan dengan RRC. Jika dibenarkan, maka dampaknya akan sangat mengganggu hubungan antar negara Asean, bahkan dapat mematik sikap saling curiga.

Padahal selama ini Jokowi menjalin hubungan yang erat dengan pemimpin Asean. Pertemuan antara Jokowi dengan pemimpin negara-negara Asean selalu cair dan "intim".

Menyimpulkan klaim Natuna semata karena sikap "lunak" Jokowi terhadap Tiongkok demi investasi, masih membutuhkan kajian. Terlebih jika menilik fakta jika peta nine dash line yang pijakan China untuk mengklaim Natuna sudah dibuat sejak  1847 dan diperbaharui 1953.

Kedua, jika melihat beberapa statemen dan langkah politik Jokowi, masih membutuhkan beberapa bukti empiris untuk sampai pada kesimpulan Indonesia "merestui" hegemoni kawasan dan membiarkan pelanggaran kedaulatan oleh China.

Sebab Indonesia pun membangun poros dengan negera-negara lain sebagai antisipasi perimbangan kekuatan. Salah satunya memperkuat poros Indo-Pasifik, termasuk bergabung dalam Trans-Pacific Partnership (TPP).

Jika Indonesia tidak mau terlibat dalam sengketa Spratly karena prinsip politik bebas aktif dan kemungkinan untuk menghindari timbulnya kecurigaan salah satu negara karena sengketa tersebut melibatkan sejumlah anggota Asean yakni Malaysia, Brune Darussalam, Filipina dan Vietnam.

Ketiga, dan ini yang paling provokatif. Benarkah ada intervensi China terkait keamanan warga Tionghoa di Indonesia? Jika tidak segera dibantah, sangat mungkin akan menjadi alas pembenar bagi mereka yang memiliki pemikiran jika investasi China tidak semata soal bisnis namun juga ada motif-motif demikian.

Semoga saja hasil analisa Lowy Institute Foreign Policy tidak benar. Jika dikaitkan dengan "naluri alamiah" Australia yang selalu ingin tahu, bahkan terkesan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, boleh jadi hasil analisa itu bagian di antaranya.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun