Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jangan Kotori Kompasiana dengan Hoaks

5 Januari 2020   22:15 Diperbarui: 5 Januari 2020   22:30 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber : Kompasiana

Entah sejak kapan aku begitu alergi membaca tulisan Kompasianer yang hanya didasari keinginan untuk memuntahkan hujatan seraya memuji tokoh tertentu dengan mengabaikan, bahkan menyembunyikan data dan fakta. Ataukah memang sebenarnya dia tidak bisa membedakan antara opini dan hoaks (hoax)?

Menulis opini tentu sangat subjektif karena memang berupa pandangan, pendapat pribadi atau sekedar perbandingan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.

Aku termasuk yang kurang peduli dengan keharusan objektif dalam hal menulis opini karena justru bertolakbelakang dengan "hukum" opini itu sendiri. Jika dalam penulisan berita diharamkan untuk memasukkan opini pewartanya, maka tidaklah demikian dengan tulisan opini sehingga objektifitas menjadi nihil.

Tetapi menggunakan data- bisa peristiwa, ucapan, kebijakan, dll sebagai basis opini itu mutlak- fardu ain hukumnya. Tanpa disertai data sebagai rujukan, syukur pembanding, maka itu bukan tulisan opini.

Kalimat "Anies gagal mengatasi banjir Jakarta" yang didasarkan pada suatu peristiwa yakni terjadinya banjir jelas opini. Karena opini maka masih bisa didebat dengan opini lain yang melihat dari sudut pandang berbeda, semisal menggunakan parameter pembanding dari peristiwa lain di masa sebelumnya.

Namun kalimat "Ahok lebih baik dalam menangani banjir Jakarta dibanding Anies" bukan opini melainkan kampanye, pamflet,  bahkan mungkin menjadi hoaks  jika tidak disertakan data sahih sebagai alas argumen semisal masa kerja, anggaran, luas wilayah dan warga terdampak secara head to head. Karena kesimpulan "lebih baik" jelas membutuhkan data pembanding.

Menulis "Anies dipecat dari mendikbud karena rancangan anggaran  yang membuat menteri keuangan marah" adalah hoaks karena tidak ada statement demikian dari menteri keuangan apalagi presiden.

Tidak ada juga fakta adanya rancangan anggaran yang dipersoalkan. Jika itu pendapat pribadi sehingga merasa tidak perlu menggunakan data, silakan saja. Tetapi sah juga ketika ada yang menyebut sebagai penebar hoaks, pembenci Anies atas dasar hal lain, kepentingan lain.     

Masih banyak yang bisa dicontohkan. Tetapi intinya, opini (dalam bentuk tulisan) adalah karya tulis, literasi, yang (mestinya) dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu opini, termasuk dalam hal mengutarakan preferensi ataupun dukungan politik terhadap tokoh atau isu tertentu, harus memenuhi kaidah umum.

Bagaimana jika niatnya memang membuat hoaks? Bebas-bebas saja. Toh dia sendiri yang akan menanggung hukum manusia maupun Tuhan. Tidak ada hak bagiku untuk melarang yang demikian itu.  

Tetapi adalah hakku juga ketika ingin laman Kompasiana menjadi blog yang dipercaya publik, syukur jika tulisan-tulisannya dijadikan referensi penulisan media lain, atau bahkan karya-karya tulis yang lebih bergengsi seperti buku atau jurnal ilmiah, karena aku berkarya di sini.

Sayangnya, hal itu tidak bisa dilakukan sendirian, atau hanya oleh satu-dua Kompasianer. Sebab citra secara keseluruhan akan memengaruhi penilaian publik. 

Sebagai gambaran, banyak tulisan atau data di Wikipedia yang valid, akurat dan benar. Tetapi mengapa laman itu tidak bisa dijadikan rujukan penulisan? Sebabnya, antara lain karena semua orang bisa mengupload dan mengedit tulisan di Wikipedia sehingga secara umum validitasnya diragukan.

Meski di Kompasiana juga berlaku demikian, tetapi ada keunggulan dalam hal identitas penulisnya, memiliki aturan baku dan pengawas (admin). Kelebihan itu jika dimaksimalkan adalah prasyarat utama untuk menjadikan karya-karya tulis di Kompasiana sebagai rujukan pihak lain.

Nah, adalah tanggungjawab Kompasianer untuk menyajikan tulisan-tulisan berkualitas, minimal bukan hoaks. Jangan sampai muncul ucapan sinis tentang Kompasiana, atau bahkan disamakan dengan blog-blog buzzer karena aku yakin Kompasiana tidak dibangun untuk itu.

Beda pilihan politik, beropini untuk memuja jagoannya, menjatuhkan lawan (dalam koridor negative campaign) adalah roh, adalah bagian dari opini itu sendiri. Tetapi untuk menyampaikannya, untuk mengejar target agar tujuan opininya goal, agar perjuangan politiknya melalui tulisan tercapai, tidak boleh dilakukan dengan cara-cara memanipulasi data, apalagi kebohongan.

Ingat, hoaks bukan soal beda pendapat, beda opini, apalagi beda preferensi politik. Hoaks adalah racun demokrasi, kejahatan yang tidak boleh kita benarkan dengan berlindung di balik jargon kebebasan berpendapat.

Hoaks harus dilawan, apapun taruhannya, sebelum ia merusak demokrasi yang sudah susah payah dibangun, mengorbankan darah dan air mata.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun