Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menunggu Jokowi Bawa Kapal Perang (Lagi) ke Natuna

4 Januari 2020   00:03 Diperbarui: 6 Januari 2020   16:46 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi di atas KRI Imam Bonjol di Laut China. Foto: KOMPAS.com/Presidential Palace

Pengusiran terhadap nelayan Indonesia yang tengah mencari ikan di perairan Natuna oleh coast guard RRC bukan aksi sporadis, melainkan bagian dari klaim wilayah secara sepihak. China tidak peduli dengan sikap Indonesia.    

Setelah berhasil "menguasai" Kepulauan Spratly yang sebelumnya diklaim Brunei, Filipina, Malaysia, Taiwan dan Vietnam, kini China pun menantang Indonesia. 

Klaim China atas perairan Natuna mengacu peta Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line) yang mereka buat sendiri dengan nelayan China sudah lama beraktivitas di situ dan relevant waters alias perairan terkait.

"Apakah pihak Indonesia menerima atau tidak, itu tak akan mengubah fakta objektif bahwa China punya hak dan kepentingan di perairan terkait (relevant waters)," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri RRC Geng Shuang, 2 Januari 2020 lalu.

Komentar Geng Shuang untuk menanggapi Indonesia yang memanggil Dubes China untuk menyampaikan protes keras dan nota diplomatik sehubungan dengan pelanggaran teritorial di Laut Natura yang dilakukan coast guard RRC. Apalagi, coas guard itu bukan hanya mengawal nelayan asal China, namun juga mengusir nelayan-nelayan Indonesia.

Beragam tanggapan berseliweran, termasuk pembelaan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut Indonesia kekurangan kapal coas guard untuk menjaga lau sehingga dimasuki nelayan asing. 

Luhut membantah peristiwa di Natuna akibat kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhi Prabowo yang terkesan "lembek" setidaknya jika dibandingkan dengan menteri terdahulu, Susi Pudjiastuti.

Padahal, klaim atas Natuna sudah lama, namun selama ini- setidaknya dalam 5 tahun terakhir,  China tidak pernah "mengirim" coast guard untuk mengawal nelayannya. 

Bahkan menurut Herman, Ketua Nelayan Lubuk Lumbang Kelurahan Bandarsyah, Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, kapal ikan asing menyerbu perairan Natuna sejak seminggu setelah Susi lengser.

Indonesia mestinya lebih berani dalam melakukan diplomasi untuk mempertahankan wilayah kedaulatan NKRI. Tidak cukup dengan melakukan protes atas pelanggaran kedaulatan dan illegal fishing oleh coast guard China di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia seperti dikatakan Menlu Retno Marsudi.

Sebab China tidak mengakui putusan Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda yang memenangkan Filipina atas kepemilikan Kepulauan Spratly di Laut China Selatan. Bahkan kegiatan militer di wilayah Spratly semakin intensif dan mengabaikan keberatan banyak negara, termasuk PBB dan Amerika Serikat.

Demikian juga dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut PBB atau UNCLOS 1982 yang menjadi sandaran Indonesia. Meski China mengaku tunduk pada UNCLOS 1982, namun juga tetap menggunakan klaim history and relevant waters atas perairan Natuna sebagai dampak penguasaan Kepulauan Spratly.

Di samping upaya terus-menerus di ruang diplomasi, Indonesia harus menunjukkan kemampuannya dalam menjaga wilayah kedaulatannya. Jika selama ini masih dikawal white hull milik Badan Keamananan Laut (Bakamla), dalam kondisi sekarang, ada baiknya mendorong grey hull milik TNI Al lebih ke depan.

Bukan tidak percaya dengan kemampuan Bakamla, tetapi seperti dikatakan Kepala Bakamla Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman, dalam kondisi damai white hull memang yang berada depan. Sementara kondisi di Natura sudah "siap perang".

Artinya, saat ini pihak Indonesia harus menempatkan ancaman terhadap kedaulatan di Natuna sebagai kondisi luar biasa yang siap "diramaikan". 

Kita masih ingat ketika Presiden Joko Widodo, dalam kapasitasnya sebagai capres petahanan tahun 2018 lalu, mengatakan dirinya panas dan langsung membawa kapal perang ke Natuna setelah mendengar klaim China atas Natuna.

Jokowi memang sempat ke Natuna tahun 2016 dengan menaiki KRI Imam Bonjol yang sebelumnya menangkap nelayan di perairan tersebut. Saat itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjelaskan, kunjungan Jokowi sebagai bagian dari penegasan kedaulatan Indonesia di Natuna.

Kini, di tengah kian nekadnya China mengklaim peraiaran Natuna yang berarti mengusik kedaulatan NKRI, masihkah Jokowi akan ke Natuna dengan membawa kapal perang? NKRI harga mati tentu bukan hanya semboyan karena di situlah eksistensi bangsa ini dipertaruhkan. 

Jika pun "minder" dengan kekuatan tempur RRC yang lebih jumbo dan modern, bagaikan berjarak 30 tahun dengan peralatan tempur RI yang bukan saja sangat minim namun juga tua, maka pengerahan pasukan ke perbatasan Natuna tidak dimaksudkan sebagai deklarasi perang namun untuk membangkitkan rasa nasionalisme, membangunkan kesadaran warga bangsa akan arti pentingnya persatuan karena ancaman dari luar itu nyata.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun