Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Petrus Tidak Mendorong Pemakzulan Jokowi?

3 Januari 2020   13:02 Diperbarui: 3 Januari 2020   14:07 2193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syahwat untuk mempolitisasi bencana banjir Jakarta begitu dasyat, mengalahkan narasi tentang peristiwanya. Padahal di saat Indonesia silih-berganti dirundung bencana, bukan hanya banjir namun juga gempa, gunung meletus hingga tsunami, semua pihak diajak untuk tidak mempolitisasi bencana.

Salah satu politisi yang menyerukan hal itu adalah Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni. Saat publik menarasikan miring terkait kehadiran Presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi yang terkena tsunami di Banten, 2018 lalu, Antoni mengatakan bencana merupakan kuasa Tuhan.

Hal sama dikatakan saat terjadi bencana Palu. Antoni menyeru agar tidak ada pihak yang mempolitisasi karena seperti dikatakan Presiden Jokowi, bencana itu adalah duka kita bersama.

Lalu ke mana Antoni saat bencana banjir Jakarta dijadikan objek politisasi oleh sebagian dari mereka yang dulu koar-koar agar tidak mempolitisasi bencana, bahkan sebagai bahan hoaks kader PSI Guntur Romli?

Lebih tendensius lagi apa yang diwacanakan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus. Praktisi hukum yang sempat menyebut hakim yang memvonis Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai arogan dan congkak ini menyebut publik sudah gerah dan tidak sabar menunggu Pilgub DKI 2023.

Dikutip lengkap dari Tribunews.com, Petrus mengatakan, "Karena kemarahan publik akan berbuah melahirkan krisis kepercayaan publik yang meluas yang akan berakhir dengan gerakan mengimpeach Anies Baswedan dari kursi Gubernur DKI Jakarta melalui Pernyataan Pendapat dan Hak Angket DPRD DKI Jakarta".  

Petrus menyinggung soal munculnya usulan anggaran tidak wajar pada RAPBD DKI 2020 dan pemangkasan anggaran penanggulangan banjir.

Mungkin Petrus sedang lupa, bahwa hal-hal yang disebutkan terjadi juga di masa Ahok. Bukan hanya munculnya usulan anggaran gila-gilaan, namun juga fakta bahwa setelah 5 tahun menjadi wakil gubernur dan gubernur, sudah melakukan normalisasi sungai dan menggusur ratusan ribu warga, pada tahun 2017 Jakarta masih kebanjiran.

Meski tidak elok membandingkan jumlah korban, namun Petrus kiranya perlu mengetahui tahun 2014 jumlah korban meninggal akibat banjir sebanyak 23 orang dan di 2015 18 orang. Sementara pada banjir 2020 menurut Badan Nasinal Penanggulangan Bencana (BNPB) ada 9 warga Jakarta yang meninggal dunia, dari total 30 korban meninggal yang tersebar di Bogor, Bekasi dan Tangerang.

Tahun 2014 jumlah pengungsi akibat banjir di Jakarta mencapai 167.727 orang, dan 2015 mencapai 45.813 orang. Di tahun akhir Ahok berkuasa, pengungsi akibat banjir berjumlah 9.100 orang.

Bagaimana dengan di masa Anies? Tahun 2018 jumlah pengungsi akibat banjir mencapai 15.627 orang. Tahun 2019 jumlahnya 2.942 orang dan di 2020 sekarang ini jumahnya mencapai 31.232 pengungsi. Masih butuh waktu 3 tahun lagi untuk mendapatkan angka berapa jumlah pengungsi di akhir pemerintahan Anies.

Dari data-data itu, mengapa dulu Petrus tidak mendorong Ahok dimakzulkan?

Menurut BNPB, sejak 1 Januari hingga 23 Desember 2019 pukul 10.00 WIB, terjadi 3.721 bencana alam di seluruh Indonesia. Mengapa Petrus tidak mewacankan impeach terhadap Presiden Jokowi?

Pemotongan anggaran tidak bisa dijadikan alasan, terkecuali diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau menguntungkan pihak lain. Hal itu terkait kebijakan, skala prioritas dan model atau cara pendekatan terhadap suatu masalah. Jika anggaran sebelumnya sangat besar, tidak sertamerta menjadi salah manakala penerusnya tidak lagi mengadopsi atau menganggarkan sebesar pendahulunya.

Jika masih ada anggaran yang tidak terpakai, itu bukan kejahatan, apalagi digunakan sebagai pintu pemakzulan. Serapan rendah anggaran bukan hanya terjadi di masa Anies, tapi juga pemimpin lainnya, termasuk Ahok. Silakan lihat serapan anggaran APBD DKI tahun 2015 dan 2016.

Mengapa kita sangat sulit untuk tidak mengaitkan bencana dengan kepentingan politik kelompoknya? Mengapa tidak melokalisir kritik hanya pada persoalan yang ada? Sungguh miris ketika melihat politisi, seorang tokoh, meletakkan kepentingan pribadi, golongan, bahkan mungkin agamanya, di atas kepentingan yang lebih besar.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun