Mahfud menggunakan definisi yang telah diperbaharui di mana yang disebut pelanggaran HAM adalah pelanggaran yang dilakukan aparat pemerintah dengan terencana dan tujuan tertentu. Oleh karenanya, jika ada kasus kekerasan aparat kepada rakyat, maupun rakyat kepada aparat merupakan kejahatan biasa, bukan pelanggaran HAM.
Karuan saja pernyataan Mahfud mematik kekesalan sejumlah pihak, termasuk Komnas HAM dan KontraS. Mereka merujuk pada kasus terbunuhnya beberapa warga Papua dan juga dalam kerusuhan yang bermula dari aksi unjuk rasa menolak hasil Pilpres 2019 di Jakarta.
Namun Mahfud tak surut langkah atas pernyataannya tersebut.
Terkait Mahfud "melunak" dan sedikit berbeda pendapat dalam menyampaikan sikap terkait isu Muslim Uighur di China. Mahfud memilih menggunakan frasa "diplomasi lunak" bukan "menolak mencampuri urusan dalam negeri China", seperti yang disampaikan Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko.
Mungkin Mahfud tidak ingin lawan mendapat pembenaran atas serangan yang menyebut dirinya sebagai Muslim yang tidak peduli pada (nasib) saudaranya karena silau oleh kekuasaan.
Perubahan sikap Mahfud terkait beberapa isu bukan sesuatu yang luar biasa. Bahkan seperti mengalasi argumen bahwa orang suci pun jika masuk ke lingkar kekuasaan pasti akan berubah kotor- meski definisi suci dan kotor sangat tergantung pada sudut pandang kepentingan pengucapnya.
Tetapi sampai di mana Mahfud mampu mengemban tugas sebagai "bemper Istana"?
Berkaca dari beberapa isu saat ini, andai ke depan ada "narasi" yang lebih menggugah nurani, akankah Mahfud sanggup melawan suara dari dalam dirinya sendiri sebagaimana dalam isu Perppu KPK dan HAM?
Menarik untuk ditunggu.
Salam @yb