Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sepenggal Catatan untuk Ratna Sarumpaet

27 Desember 2019   09:51 Diperbarui: 27 Desember 2019   19:38 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratna Sarumpaet. Foto: KOMPAS.com/Antara

Tentu aku tidak mengenal Anda. Perjumpaan kita mungkin hanya lewat karya. Aku pernah menonton akting teater Anda, dan mungkin (meski sebenarnya aku ragu) Anda pernah membaca salah satu karyaku saat aku masih rajin mengirim tulisan ke media cetak medio 1991-1997.

Kiprah Anda sebagai aktivis bukan berbilang bulan, namun telah teruji dalam deret tahun. Saat ini aku kesulitan menemukan aktivis yang tetap menjejak bumi meski namanya sudah melintas batas negeri.  Aku mengagumi Anda dan catatan ini ditulis dengan semangat itu.

Tetapi harus aku garisbawahi, kekaguman itu tidak sertamerta menjadi landasan pilihan politikku. Setelah Anda masuk ke dunia politik praktis, aku membatasi ruang kekaguman pada sisi lainnya di luar pilihan politik. Bahkan aku menjadikannya sekat agar kekagumanku tidak luntur.

Sebab pada akhirnya aku memiliki banyak beda sudut dalam memandang persoalan politik kekinian, utamanya sejak 2014 hingga kini yang dipenuhi kekerdilan logika dan pembiusan nalar. Kita dipaksa amnesia pada hal-hal yang esensial seraya ditaburi kebenaran artifisial atas nama kepentingan kelompok dan golongan.

Penggunaan isu rasial dihidangkan di altar umum dan ketika terjadi perlawanan balik, atas nama kekuasaan, kesalahan ada pada pihak yang melakukan counter. Ketegangan sosial berbalut keyakinan dan sukuisme saat ini, adalah muara dari keinginan segelintir orang yang menjual isu keminoritasan agar mendapat ruang di panggung politik. Bukankah sebelum 2014 kita tidak merasakan ketegangan itu?

Bagaimana mungkin seseorang dapat berucap "demokrasi baru tegak, Pancasila baru benar-benar dihayati dan diamalkan hanya jika dirinya menang kontestasi politik"? Ujaran yang sungguh "sakit" dan brutal karena memaksa semua orang untuk memilih dirinya  demi predikat demokratis dan pancasilais yang telah dikaburkan maknanya.

Bahkan di Amerika Serikat, demokrasi tetap indah dan bermartabat meski Barack Obama yang merepresentasikan warga "kelas dua" baru bisa menjadi presiden setelah ratusan tahun sejak digelarnya hajat demokrasi di negeri itu.

Ketika akhirnya dirinya tidak terpilih dalam kontestasi demokrasi karena muncul perlawanan balik, caci-maki berhamburan. Tudingan intoleran, rasis, hingga radikal menjadi alat pembenar untuk menyerang semua orang yang berbeda pilihan. Itulah wajah "demokrasi" kita hari ini.

Tetapi aku tetap menyalahkan keteledoran Anda ketika tidak mampu mengelola perlawanan dengan tetap mengedepankan cara-cara yang demokratis, luhur dan sesuai dengan nilai-nilai keadaban yang berlaku universal.

Sebab kita terlarang untuk membenci manusia, membenci keyakinan orang lain. Kita hanya melawan bias kebenaran, keadilan serta tujuan berbangsa dan bernegara berdasar kesepakatan yang telah ditetapkan para pendiri negeri ini.  

Sebab kita bukan bagian dari gerombolan yang mengagungkan kesucian diri sebagai "wakil tuhan" di bumi. Kita memiliki cara tersendiri untuk melakukan perlawanan terhadap distorsi kebenaran sejak Orde Baru. Kita tetap menjaga nalar dan kewarasan pikir di tengah situasi apa pun. Itu alasan mengapa kita bisa melewati jeruji besi, popor senapan hingga hentak sepatu lars di masa lalu yang katanya lebih kejam dibanding hari ini.

Sebab kita sejatinya telah memilih untuk berpihak hanya pada mereka yang terlupa di tengah deru pembangunan, yang terasing di negeri sendiri, yang teraleniasi dalam struktur sosial yang dibangun atas dasar nepotisme demi kepentingan yang mengingkari sila-sila Pancasila.

Tetapi akhirnya aku kecewa karena secara sadar Anda telah menempatkan kaki di panggung politik. Suara Anda menjadi kering, nada Anda kerontang karena sublimasi jati diri.

Aku tidak tahu apakah itu bentuk frustasi, padahal Anda paham hal itu diharamkan dalam derap perlawanan karena ia tiada berbatas waktu, pun tiada berbatas ruang.

Puncak kekecewaanku adalah ketika Anda, apa pun alasan dan tujuannya, secara sadar menyebar kabar bohong atas lebam di wajah. Sulit bagiku untuk percaya Anda bisa melakukan itu, sebagaimana kini sangat sulit bagiku untuk percaya pada resolusi ke depan yang mungkin telah Anda siapkan. 

Sebagai aktivis, terlebih oposisi dalam konteks demokrasi yang brutal, Anda mestinya paham kita tidak diperbolehkan membuat kesalahan, sekecil apa pun. Beda halnya jika ketika itu Anda adalah pemenang. Kata temanku, seburuk-buruknya pemenang bahkan bisa menuliskan sejarah untuk beberapa generasi berikutnya hingga kelak muncul Santa pencerah.

Saking kecewanya, aku bahkan sempat setuju ketika Ketua Umum PPP (saat itu) Romahurmuziy mengusulkan gagasan menarik agar tanggal 3 Oktober dimana Anda mengaku telah membuat kabar hoaks, dijadikan sebagai Hari Antihoax Nasional.

Bahwa kemudian Romi mengikuti jejakmu ke balik jeruji dengan kasus lebih memalukan karena diduga menggunakan pengaruhnya untuk menempatkan orang-orang pada jabatan tertentu  bukan berdasar kemampuannya tetapi jumlah uang yang diberikan, Anda tentu tidak perlu mengusulkan hari di mana Romi diduga menerima suap sebagai Hari Anti Suap.

Kini Anda telah bebas bersyarat. Meski rasa rasa kecewa itu masih ada, tetapi aku tetap ingin menitip pesan. Kembalilah menjadi aktivis, guru dan pengayom bagi mereka yang berada di lorong-lorong sunyi keadilan, di gubuk-gubuk sisa pembangunan, dan di antara debu bercampur celoteh para begundal politik.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun