Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap, pegawianya ada yang cenderung melaksanakan ajaran agama lebih eksklusif, bahkan sudah terpapar paham radikal. Keberadaan mereka terlihat dari penampilan, terutama cara pakaian, kekhusyukan dalam beribadah dan pengelompokannya.
Apa yang dipaparkan Ani, demikian saapan akrab  mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut, sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Isu demikian sudah lama beredar di masyarakat dan bahkan pernah dicetuskan secara langsung sejumlah tokoh.
Artinya, kita melihat  Ani tidak sedang membuat isu dengan tujuan berbeda. Semisal untuk menutupi isu-isu terkait utang luar negeri, dan yang paling baru mengenai penurunan ambang batas pembebasan bea masuk untuk transaksi  e-commerce dari 75 dollar AS menjadi 3 dollar AS.
Kebijakan Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tersebut mendapat respon negatif dari sejumlah pihak karena bisa mematikan usaha kecil dalam negeri yang membutuhkan bahan baku impor. Â Padahal menurut Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi, kebijakan itu untuk melindungi pelaku usaha terutama UKM dalam negeri.
Namun isu radikalisme di kementerian tidak akan sanggup menandingi isu penurunan ambang batas pembebasan pajak impor. Sebab pelanggan e-commerce  didominasi kaum milenial yang -meski hal ini masih perlu survei lebih lanjut, selama ini rajin menggemakan isu-isu di media sosial. Ketika mereka merasa dirugikan, maka mustahil akan "menenggelamkannya" dengan isu "basi" yang bertendensi politis.
Kita justru tergelitik dengan kesimpulan yang dikemukakan Ani terkait penyebab munculnya paham radikal yang menjangkiti aparatur sipil negara (ASN) di Kemenkeu. Menurutnya, hal itu merupakan rembesan dari kontestasi politik (pilpres) sebelumnya. Â Â
"Karena salah satu konten kontestasi itu menggunakan politik identitas. Ini menyebabkan banyak sekali rembesan kepada para birokrat kita. Meskipun ASN kita seharusnya netral, tetapi mereka memiliki aspirasi politik. Itu sangat buruk," ujar Ani ketika berbicara dalam acara bertajuk "Perempuan Hebat untuk Indonesia Maju" yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Hotel Ritz Carlton, SCBD, Jakarta, Minggu.
Secara tersirat Ani menuding ada kontestan atau pendukung kontestan dalam Pilpres 2019 menggunakan politik identitas. Lalu apakah Ani salah? Tentu tidak. Sebab hal itu sudah sering dijadikan topik bahasan, bahkan sejumlah pihak terang-terangan  menuding kubu Prabowo Subianto -- Sandiaga Salahudin Uno menggunakan politik identitas.
Persoalannya, dari tiga penyebab yang disampaikan Ani, Â tidak disebutkan kemungkinan adanya faktor ketidaknetralan pejabat pemerintahan baik di daerah maupun pusat. Â Padahal saat itu sangat marak "ulah" top pimpinan di lingkungan ASN yang melakukan gestur dukungan, bahkan terang-terangan berkampanye.
Bahkan Ani sendiri pernah dilaporkan ke Bawaslu karena melakukan salam satu jari bersama Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam acara pertemuan IMF-World Bank di Bali tahun 2018 lalu.
Gestur Ani dan Luhut yang melakukan koreksi terhadap salam 10 jari Managing Director IMF Christine Lagarde menjadi satu jari, dianggap sebagai bentuk kampanye yang menguntungkan petahana Joko Widodo.
Meski diputus bebas oleh Bawaslu dengan alasan keduanya tidak melakukan kampanye terselubung, namun persepsi sebagian publik tidaklah demikian.
Bahkan andai pun benar-benar tidak ada tujuan kampanye, tetap harus dipahami saat itu tengah berlangsung kampanye dengan rivaliitas yang sangat intens dan beberapa ASN yang memperagakan hal serupa namun dengan dua jari, mendapat hukuman, minimal teguran.
Para ASN yang melihat bosnya melakukan tindakan tak terpuji, sangat mungkin diam-diam melakukan perlawanan melalui cara yang berbeda. Artinya, sangat mungkin sikap vulgar ASN dalam mengekspresikan identitasinya juga dipengaruhi oleh sikap pimpinannya.
Kita berharap, Ani dan juga pejabat lain, tidak mudah menyalahkan faktor luar sebagai penyebab munculnya eksklusivisme  keagamaan di lingkungannya. Terlebih jika bertolak-belakang dengan pemahaman umum (sekedar tidak menyebut fakta). Â
Seorang pemimpin mestinya mampu mengayomi semua pihak dalam jangkauan kepemimpinannya, dapat bersikap netral dan adil dalam berbagai hal. Â
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H