Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) kembali di ambang perpecahan. Hal itu terjadi bukan karena ada intervensi eksternal, namun karena memang sudah salah barut sejak lahir. Â
Barut adalah kait pembebat (bedong) bayi. Tujuannya, selain agar tetap hangat, juga supaya tidak banyak bergerak  mengingat otot-totnya belum kuat. Namun jika salah, resikonya jauh lebih berbahaya dibanding jika dibiarkan tanpa barut. Hal itu yang terjadi pada Hanura.
Proses kelahiran Hanura diawali dengan pembentukan ormas Perhimpunan Kebangsaan (penulis menjadi anggota Tim 9 dari Lampung yang ikut membidani kelahirannya). Setelah terbentuk kepengurusan di sejumlah daerah, Wiranto mendeklarasikan Partai Hanura dengan sebagian besar pengurusnya adalah pengurus Perhimpunan Kebangsaan.
Saat itu banyak pengurus Perhimpunan Kebangsaan yang menolak bergabung dengan Hanura bahkan keluar dari ormas (termasuk penulis).  Dari siniah kesalahan itu bermula. Hanura memang sukses menjadi partai politik peserta pemilu  untuk pertama kalinya di Pemilu 2009. Â
Tetapi sejarah mencatat, perolehan suara Hanura tidak pernah signifikan. Di Pemilu 2009 Hanura mendapat 18 kursi DPR, sementara perolehan suara secara nasional hanya 3,8 persen. Perolehan kursi DPR merosot di Pemilu 2014, meski secara prosentase perolehan suara nasional naik menjadi 5,26 persen.
Setelah Wiranto mundur dari posisi ketua umum karena mengemban jabatan Menko Polhukan di Kabinet Kerja Joko Widodo -- Jusuf Kalla, geliat keterpurukan Hanura semakin nyata. Hanura yang sudah dikemudikan Wiranto sejak berdiri tahun 2006, kian  amburadul di tangan Oesman Sapta Odang (OSO).
Penyebabnya, saat terpilih menjadi ketua umum Hanura tahun 2016, OSO tidak mau meninggalkan posisi ketua Dewan Perwakilan Daerah  RI. Bahkan di Pemilu 2019, OSO kembali maju menjadi calon anggota DPR, bukan DPR. Keharusan DPD bersih dari orang partai, menjadi kabur dan ditafsirkan sesuai kepentingan masing-masing.
Kisruh internal Hanura akhirnya meledak hingga menciptakan kubu Wiranto dan OSO. sebelum akhirnya Wiranto dan OSO berdamai (lagi). OSO tetap menjadi ketua umum dengan Wiranto di posisi ketua Dewan Pembina demi mengamankan keikutsertaan Hanura di Pemilu 2019.
Dan seperti sudah diprediksi, perolehan suara Hanura jeblok. Â Dengan hanya mendapat 1,54 persen suara nasional, jauh di bawah ambang batas parlemen sebesar 4 persen, Hanura pun gagal mengirim kadernya ke Senayan.
Kini perpecahan kembali terjadi. Usai Hanura menggelar Munas dan menetapkan kembali OSO sebagai ketua umum, Wiranto yang kini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden memberikan reaksi keras. Selain tidak mengakui kepengurusan baru dan mundur dari posisi Dewan Pembina, Wiranto diyakini akan mendukung kelompok kontra OSO yang ingin menggelar Munas tandingan.
Jika benar demikian, maka Wiranto hanya memperpanjang salah barut Partai Hanura. Â Selain hanya akan menghabiskan enegri, kedua kubu juga hanya berebut pepesan kosong karena Hanura tidak bisa mengikuti Pemilu 2024 kecuali mengubah namanya.
Mengingat hal itu, jika memang masih ingin mengendalikan partai politik, lebih tepat jika Wiranto benar-benar meninggalkan Hanura dan segara membuat partai baru. Tetapi jangan mengulang kesalahan saat pendirian Partai Hanura.
Benar, pendirian Partai Nasdem juga diawali dengan pembentukan ormas. Bedanya, Nasdem tetap menggunakan nama yang sama baik saat menjadi maupun ketika berubah menjadi partai politik. Artinya ada ketegasan. Sedang Wiranto membuat banyak pengurus Perhimpunan Kebangsaan karena hanya dipakai sebagai kendaraan untuk melahirkan Hanura.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H