Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Larangan Ekspor Nikel Mestinya Bukan untuk Perang Dagang

18 Desember 2019   10:27 Diperbarui: 18 Desember 2019   18:52 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejumlah pihak menarasikan Indonesia di ambang, bahkan dianggap sudah terlibat dalam perang dagang dengan Uni Eropa (UE) setelah Presiden Joko Widodo keukeuh melarang ekspor bijih mineral mentah, termasuk nikel. Selama ini Indonesia merupakan pemasok bijih nikel utama kedua ke benua biru.

Sikap Jokowi lantas dikaitkan dengan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE yang dianggap mendiskriminasi produk kelapa sawit Indonesia. Meski UE, sebagaimana dikatakan Duta Besar UE untuk Indonesia Vincent Gurend membantah ada larangan masuk bagi minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil) asal Indonesia, tetapi isu lingkungan dan energi terbarukan yang dipatok UE menjadi pintu penghalang yang sulit ditembus.

Terlebih Jokowi tetap keukeuh mempertahankan larangan ekspor bijih mineral atau ore, terutama nikel mulai 1 Januari 2020 meski mendapat gugatan dari UE di WTO (World Trade Organization). Jokowi menyebut Indonesia siap menghadapi gugatan pihak manapun.

Tetapi, sejatinya, menyebut larangan ekspor bijih nikel sebagai balasan atas isu lingkungan yang menjadi penyebab sulitnya eskpor CPO ke UE sehingga akan berkembang menjadi perang dagang rasanya terlalu simplifikasi. Terlebih, jika hanya dikaitkan dengan kedekatan waktu antara  gugatan Indonesia terkait diskriminasi CPO dan gugatan UE terkait larangan ekspor ore di WTO.

Kebijakan larangan ore sudah menjadi amant oleh UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) di mana Pasal 103 menyebut pengolahan dan pemurnian hasil tambang wajib dilakukan di dalam negeri.

Menindaklanjuti amanat UU tersebut, pemerintah kemudian menerbit berbagai peraturan di mana salah satunya adalah kewajiban bagi perusahaan tambang untuk membangun smelter sebagai bagian dari upaya hilirisasi hasil tambang sehingga memberikan nilai tambah negara.

Tetapi nyatanya hingga batas waktu tahun 2017, tidak semua perusahaan tambang membangun smelter. Akibatnya, larangan ekspor ore, termasuk bijih nikel, tetap berjalan. Pemerintahan Jokowi kemudian mempercepat larangan ekspor bijih nikel dari rencana awal tahun 2022 menjadi 1 Januari 2020.

Alasannya, seperti dikemukakan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam beberapa bulan terakhir terjadi lonjakan ekspor dari sebelumnya hanya kisaran 30 kapal menjadi 100-130 kapal per bulan sehingga merusak lingkungan dan merugikan negara.

Dari fakta itu jelaslah jika larangan ekspor ore, termasuk nikel, adalah amanat UU dan dipercepat karena ada upaya penambangan gila-gilaan sehingga berpotensi merusak lingkungan dan merugikan negara.

Kita khawatir jika kebijakan larangan ekspor ore dikaitkan dengan "larangan masuk" CPO ke UE akan mengubah esensi, bahkan berpotensi melanggar amanat UU Minerba yang bahkan semestinya sudah harus diberlakukan sejak 2014.

Pertanyaan sederhananya, apakah jika UE mencabut isu lingkungan sehingga pasar CPO Eropa terbuka lebar, Indonesia akan membalasnya dengan membatalkan larangan ekspor ore? Bahkan jika hanya dimaksudkan sebagai alat tawar (bargaining position) juga tidak tepat.

Benar, bahwa larangan ekspor ore bisa mematikan industri baja di Eropa sebagaimana juga sudah disuarakan oleh UE.

Tetapi Indonesia bukan pengeskpor nikel terbesar di dunia. Indonesia hanya berada di rutan keenam setelah Filipina, Kanada, Rusia, Australia dan Kaledonia Baru (Perancis).

Cadangan bijih nikel Indonesia juga "hanya" 4,5 juta ton metrik. Bandingkan dengan Kaledonia yang memiliki cadangan sekitar 8 juta ton metrik. 

Artinya, Eropa kemungkinan bisa mengalihkan kebutuhan bijih nikelnya ke negara lain karena Indonesia "hanya" eksportir terbesar kedua ke UE.

Kita berharap pemerintah tidak mengaitkan larangan ekspor ore, termasuk nikel, sebagai alat tawar untuk kemudahan ekspor CPO atau produk biodies lain dari Indonesia  ke UE. Larangan itu harus dilaksanakan sebagai amanat UU, apa pun kondisinya.

Jika isu lingkungan memang menjadi hambatan ekspor produk kelapa sawit ke UE, maka langkah yang harus ditempuh, selain gugatan ke WTO karena menilai ada perlakukan berbeda, adalah memperbaiki kinerja perkebunan dan pabrik pengolahan sawit sehingga dapat menyesuaikan dengan perkembangan  isu-isu lingkungan yang sering dijadikan "jualan" politisi Eropa.  

Salam @yb

*Data lain diolah dari berbagai sumber.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun