Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kritik Mendagri Soal Jakarta kayak Kampung Sangat Tepat

27 November 2019   05:53 Diperbarui: 27 November 2019   06:03 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melempar kritik tajam kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan mengatakan Jakarta terlihat kayak kampung dibandingkan dengan Shanghai.  Namun ada pesan tersembunyi di balik pernyataan itu.

Kritik Mendagri Tito disampaikan ketika memberi sambutan dalam Kongres Asosiasi Pemerintah Provinsi (APPSI) ke VI di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat yang dihadiri gubernur se- Indonesia termasuk Anies Baswedan.

Tito menceritakan pengalamannya ketika melakukan studi banding ke Shanghai tahun 1998, kondisinya sangat kumuh seperti kampung. Namun ketika kembali berkunjung tahun 2018, Shanghai sudah mirip New York, Amerika Serikat.

Salah satu perubahan yang mencolok, menurut Tito adalah perubahan air sungai yang dulunya hitam pekat menjadi bersih dan banyak orang berenang.

Anies pun mengapresiasi kritik Mendagri dengan menyebut sebagai pesan tentang transformasi sebuah negara yang berlangsung secara kontinyu dan lama, berdekade.  

Memang harus dipahami Tito tengah membahas tentang lompatan 20 tahun, bukan 2 tahun. Secara utuh, Tito menyebut, pada kunjungan ke Shanghai tahun 2000, atau dua tahun sesudah kunjungan pertama, kondisinya baru mulai berubah yang ditandai dengan banyaknya sepeda motor di jalan raya.

Tahun 2004, menurut Tito, mobil sudah ada tetapi belum bagus. Beberapa tahun kemudian, infrastruktur  dan transportasi berkembang dan mobil mewah banyak ditemui. Hingga akhirnya Shanghai berubah menjadi megapolitan seperti dilihat Tito tahun 2018.

Jika kemudian Jakarta, seperti disebut Tito, justru stagnan karena kondisinya masih sama dengan 1998, maka kritik itu sebenarnya tidak hanya ditujukan kepada gubernur sekarang. Dari pernyataan Tito, kita ikut mempertanyakan apa yang telah dilakukan para gubernur sebelumnya sehingga Jakarta tetap kayak kampung, tidak seperti Shanghai?

Mana prestasi-prestasi para gubernur sebelumnya yang sering disebut-sebut oleh sekelompok orang? Nyatanya, Jakarta, seperti dikatakan Tito, masih kayak Kampung karena nyaris tidak ada perubahan berarti sejak 1998.

Dari kritik Mendagri,  kita bisa memahami bahwa pembangunan suatu negara, juga daerah, berlangsung secara berkesinambungan. Capaian hari ini tidak terlepas dari kinerja pemimpin sebelumnya.  Demikian juga kelemahan-kelemahannya karena mungkin terbelenggu oleh sistem yang masih sama. Contohnya dalam hal penyusunan RAPBD.

Usulan-usulan kegiatan dengan anggaran fantastis selalu muncul dari masa-ke masa. Selain mentalitas oknum birokrat, yang tentunya sudah bercokol lama di posisinya sehingga memiliki kewenangan mengusulkan anggaran, juga sangat mungkin karena sistem yang kurang sesuai dengan perubahan zaman sehingga harus diganti.

Hal yang lain yang tidak kalah penting untuk dipahami, perubahan yang terjadi di Shanghai tidak berdiri sendiri. Shanghai tidak maju sendirian, namun juga didukung kemajuan ekonomi negaranya.

Bukan rahasia lagi, lompatan ekonomi RRC, sungguh luar biasa. Mengalahkan Jepang, Jerman  dan negara-negara maju lainnya, dan bahkan kini berhadapan langsung dengan Amerika Serikat.

Artinya, sangat mungkin Shanghai tidak akan mengalami kemajuan sepesat itu manakala kondisi ekonomi negaranya tidak booming.  Sebab, seperti dikatakan Mendagri, kemajuan pesat juga terjadi di Beijing. Jadi, jika Jakarta tidak mengalami lompatan kemajuan, mungkin juga karena kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan yang tidak mendukung.    

Namun ada pesan "berbahaya" di balik pernyataan Tito ketika mencontohkan kemajuan China dengan sistem satu partai. Terlebih Tito juga menggunakan rujukan Vietnam sebagai negara penganut sistem sosialis yang ekonominya ikut mengalami kemajuan pesat serta kehancuran demokrasi Mesir yang akhirnya diambilalih militer.

Sebab saat ini tengah berkembang sejumlah wacana yang ujungnya bisa mengancam keberlangsungan demokrasi seperti mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, gubernur ditunjuk langsung pemerintah pusat karena statusnya sebagai wakil di daerah, dan terbaru isu amandemen UUD yang salah satu opsinya menambahkan periode jabatan presiden.

Jangan sampai karena memburu kemajuan ekonomi lantas mengorbankan demokrasi. Jangan pula karena demi investor, kerusakan lingkungan diabaikan.  Kita pernah mengalami masa itu selama hampir 32 tahun dan nyatanya juga tidak ada lompatan ekonomi.

Selain sistem yang harus terus diperbaharui tanpa mendistorsi esensinya, perlu juga membenahi   mentalitas birokrat dan pemangku kebijakan agar- seperti dikatakan Presiden Joko Widodo, tidak terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja. Salah satunya tentu dengan memberi hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi sebagaimana yang dilakukan China. Bukan justru memberi kemudahan, apalagi pengampunan kepada koruptor!

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun