Usulan-usulan kegiatan dengan anggaran fantastis selalu muncul dari masa-ke masa. Selain mentalitas oknum birokrat, yang tentunya sudah bercokol lama di posisinya sehingga memiliki kewenangan mengusulkan anggaran, juga sangat mungkin karena sistem yang kurang sesuai dengan perubahan zaman sehingga harus diganti.
Hal yang lain yang tidak kalah penting untuk dipahami, perubahan yang terjadi di Shanghai tidak berdiri sendiri. Shanghai tidak maju sendirian, namun juga didukung kemajuan ekonomi negaranya.
Bukan rahasia lagi, lompatan ekonomi RRC, sungguh luar biasa. Mengalahkan Jepang, Jerman  dan negara-negara maju lainnya, dan bahkan kini berhadapan langsung dengan Amerika Serikat.
Artinya, sangat mungkin Shanghai tidak akan mengalami kemajuan sepesat itu manakala kondisi ekonomi negaranya tidak booming. Â Sebab, seperti dikatakan Mendagri, kemajuan pesat juga terjadi di Beijing. Jadi, jika Jakarta tidak mengalami lompatan kemajuan, mungkin juga karena kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan yang tidak mendukung. Â Â
Namun ada pesan "berbahaya" di balik pernyataan Tito ketika mencontohkan kemajuan China dengan sistem satu partai. Terlebih Tito juga menggunakan rujukan Vietnam sebagai negara penganut sistem sosialis yang ekonominya ikut mengalami kemajuan pesat serta kehancuran demokrasi Mesir yang akhirnya diambilalih militer.
Sebab saat ini tengah berkembang sejumlah wacana yang ujungnya bisa mengancam keberlangsungan demokrasi seperti mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, gubernur ditunjuk langsung pemerintah pusat karena statusnya sebagai wakil di daerah, dan terbaru isu amandemen UUD yang salah satu opsinya menambahkan periode jabatan presiden.
Jangan sampai karena memburu kemajuan ekonomi lantas mengorbankan demokrasi. Jangan pula karena demi investor, kerusakan lingkungan diabaikan. Â Kita pernah mengalami masa itu selama hampir 32 tahun dan nyatanya juga tidak ada lompatan ekonomi.
Selain sistem yang harus terus diperbaharui tanpa mendistorsi esensinya, perlu juga membenahi  mentalitas birokrat dan pemangku kebijakan agar- seperti dikatakan Presiden Joko Widodo, tidak terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja. Salah satunya tentu dengan memberi hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi sebagaimana yang dilakukan China. Bukan justru memberi kemudahan, apalagi pengampunan kepada koruptor!
Salam @yb