Kehebohan sosok Susi Pudjiastuti meruntuhkan kesakrakaral acara pengumuman anggota Kabinet Kerja Joko Widodo -- Jusuf Kalla, 5 tahun silam. Rokok, tato dan pendidikannya yang hanya tamat SMP, bukan hanya menjadi headline media, namun juga topik pembicaraan di ruang-ruang publik.
Susi menjadi daya tarik karena memiliki 3 kelemahan itu. Perempuan merokok di tempat umum, terlebih di lingkungan Istana yang sangat steril, bukan contoh yang baik. Ditambah tato di kaki.Â
Bukan rahasia lagi, tato- terlebih pada tubuh seorang perempuan, masih menjadi "cermin" perilaku negatif di mata sebagian besar masyarakat.
Sementara bagi sebagian lainnya, pendidikan identik dengan prestise. Penghargaan terhadap gelar (akademik) masih menjadi budaya. Tidak mengherankan jika ada pejabat yang tampak tidak senang saat namanya ditulis tanpa menyertakan gelarnya.
Namun sejarah kemudian mencatat, Susi termasuk menteri Kabinet Kerja yang berhasil. Susi yang dibesarkan dari lingkungan pelabuhan perikanan mampu mengemban tugas sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.Â
Jargon "tenggelamkan" yang awalnya ditujukan untuk kapal-kapal pencuri ikan, begitu fenomenal. Â
Tentu bukan tanpa tantangan. Pelarangan penggunaan cantrang mendapat perlawanan hebat khususnya dari nelayan di pesisir Jawa baik utara maupun selatan. Terlebih perlawanan tersebut mendapat sokongan Partai Kebangkitan Bangsa melalui ormas Gerbang Tani dan Nelayan.
Di awal 2019, Presiden Jokowi terpaksa memenuhi permintaan nelayan yang ngelurug ke Istana. Dengan nada tertahan, Susi menemui nelayan yang tengah berdemo untuk mengumumkan moratorium larangan penggunaan cantrang.
Tetapi "cacat" itu tidak mengurangi prestasi lain yang telah digelorakan dan direalisasikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan relatif bersih dari isu-isu korupsi dan kolusi.Â
Tidak mengherankan jika banyak yang berharap, Presiden Jokowi masih memberi kepercayaan kepada bos maskapai penerbangan Susi Air ini. Â Â