Kegagalan Megawati menjadi presiden setelah PDIP memenangi Pemilu 1999 adalah buktinya. Meski akhirnya Megawati berhasil menjadi Presiden RI kelima setelah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dipaksa lengser, namun semua berkat manuver Ketua MPR (saat itu) Amien Rais.
Kegagalan kader-kader PDIP mempertahankan ketentuan kursi Ketua DPR sebagai jatah partai pemenang pemilu pada tahun 2014 lalu adalah contoh lainnya.
Kelemahan itu yang kini sedang dimainkan Surya Paloh. Jika PDIP tetap tidak mau mengurangi jatah kursi menterinya untuk diberikan kepada Gerindra, Surya Paloh akan menggunakan pengaruhnya untuk mengajak PKB, dan mungkin juga PPP, bahkan Golkar untuk memboikot amandemen UUD.
Tentu saja, karena faktor di atas, PDIP tidak bisa gegabah menghadapi manuver Surya Paloh yang pernah mengumpulkan pimpinan PKB, Golkar dan PPP untuk menghadapi PDIP. Bahkan Surya Paloh menegaskan "perlawanannya" dengan menemui Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan seraya menyinggung Pilpres 2024.
Akankah Prabowo berhasil meredam Surya Paloh? Untuk mengetahuinya, bisa dilihat dari dua keputusan penting di Istana.
Jika Nasdem mendapat 4 kursi menteri, atau setidaknya mendapat kursi menko plus 2 kursi menteri, terlebih tetap mendapat kursi Menteri Kehakiman maka safari Prabowo gagal.
Jika Nasdem "hanya" mendapat 2 kursi menteri dan tetap menyetujui amandemen UUD terbatas hanya pada pengembalian wewenang MPR menyusun GBHN, maka safari politik Prabowo sukses.
Apa pun hasilnya, safari politik Prabowo menjadi pertanda tersumbatnya komunikasi antar partai koalisi pemerintah gegara rebutan jatah kursi, Partai koalisi Jokowi, ternyata tidak mau tunduk pada kemauan PDIP yang mengklaim sebagai pemimpin sehingga meminta kursi kabinet terbanyak.
Artinya, jika safari politik Prabowo berhasil, maka ke depan PDIP akan sangat dominan. PDIP (baca: Megawati) akan menggunakan Gerindra sebagai "alat" untuk menekan partai lain agar mengikuti arah politiknya.
Dengan demikian, bukan hanya mandulnya fungsi checks and balances DPR terhadap pemerintah, namun lembaga legislatif itu sangat mungkin juga hanya menjadi "tukang stempel" kemauan PDIP.
Situasi demikian pada akhirnya akan menguntungkan PKS sebagai oposisi tunggal. Sebab sekali pun PAN "terpaksa" tidak berada di Istana, label oposisi belum tentu didapat mengingat manuvernya selama ini.