Ribuan pelajar tingkat menengah, terutama Sekolah Tehnik Menengah (STM) dari berbagai daerah di sekitar Jakarta, ngluruk ke ke gedung DPR. Banyak di antara mereka yang tidak tahu tujuannya. Mereka bergerak karena imbuan atau ajakan yang diterima melalui media sosial. Bagaimana kita menyikapinya?
Jika dipilah berdasar pengakuan sejumlah pelajar yang dimuat sejumlah media, massa pelajar dapat dibagi dalam tiga kelompok.
Pertama, mereka yang paham substansi demo yang disuarakan para mahasiswa yakni mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu UU KPK setelah DPR mengesahan Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, menolak pengesahan RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba dan RUU Pemasyarakatan. Kelompok ini tergerak ingin mendukung perjuangan yang tengah digelorakan para  kakak-kakaknya. Â
Kedua, kelompok yang ingin mendukung gerakan mahasiswa tanpa mengetahui substansi tuntutannya. Terakhir, pelajar yang hanya ikut-ikutan karena terpengaruh ajakan di medsos maupun solidaritas sesama pelajar.
Poin lain yang termasuk dalam kelompok ketiga adalah seperti yang dikatakan Kak Seto di mana bagi sebagian pelajar, demo menjadi semacam tempat pelarian, bahkan hiburan akibat kondisi di rumah dan sistem pendidikan yang ketat, termasuk tumpukan PR (pekerjaan rumah) yang membebani siswa.
Dari poin-poin di atas, menjadi tidak bijak jika orang tua dan pemerhati masalah sosial, hanya melihat dari satu sisi. Apalagi mendiskreditkan mereka dengan ujaran-ujaran "merendahkan".Â
Kegalauan seorang ibu yang meminta anaknya pulang dan tidak ikut demo, sangat wajar melihat situasi saat itu. Tetapi penekanan "kalau kamu manusia", "yang mendengar suara saya anak soleh" kiranya kurang tepat.
Kita sepakat, pelajar sekolah menengah, terlebih tingkat pertama, memiliki tugas yang lebih penting  dibanding dengan urusan negara apalagi politik, yakni belajar.Â
Rendahnya pemahaman terhadap substansi yang dihadapi —termasuk rawan dibelokkan untuk agenda lain, menjadi penguatnya. Terlebih aksi mereka kemudian berubah menjadi anarkis.
Tetapi kita juga tidak bisa menutup mata terhadap situasi dan kondisi saat ini. Jika menggunakan analisa Kak Seto, maka mereka juga adalah korban dari berbagai persoalan yang dilakukan orang-orang dewasa, termasuk orang tuanya.Â
Sebagian dari mereka menganggap persoalan yang ada saat ini juga menjadi bagian yang kelak akan dihadapi. Mereka "tidak tega" kakak-kakaknya berjuang sendiri.
Jadi, mari kita sebagai orang dewasa, termasuk aparat negara, bersikap lebih bijak. Sambil memberikan pemahaman yang utuh kepada mereka, terutama mengingatkan tugas utamanya, kita pun memiliki kewajiban untuk menciptakan situasi yang kondusif dengan tidak membuat kebijakan, menciptakan narasi-narasi, yang melukai mereka.
Bukankah jika para wakil rakyat tidak "mengorupsi agenda reformasi" peristiwa itu tidak akan terjadi? (Meski masih membutuhkan alas argumen yang kuat) bukankah andai di rumah dan sekolah baik-baik saja, siswa tidak akan ikut-ikutan mencari "hiburan" di luar?
Jangan mudah memberikan  stigma buruk pada pelajar yang demo. Sebab kelak mereka yang akan menggantikan tugas kakak-kakaknya, menggantikan orang dewasa, menggantikan kita mengisi dan mengawal reformasi, mengawal tujuan berbangsa dan bernegara.
Kepada para pelajar sekolah menengah, cukup sudah aksi kalian. Kami bangga padamu, tapi jangan diulang apa telah yang kalian lakukan kemarin hingga tadi malam. Â Â
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H