Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tidak pernah kehabisan cara untuk menyerang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun pernyataan jika revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan puncak kekecewaan Presiden Joko Widodo, sangat berbahaya karena bukan hanya lembaga antirasuah yang disasar, melainkan wibawa Presiden.
Menurut Fahri, Presiden Jokowi akhirnya berani menyetujui revisi karena kesal selama ini diganggu oleh KPK. "Sikap Jokowi ini adalah puncak kekesalannya atas gangguan yang selama ini diciptakan KPK," ujar Fahri Hamzah usai memimpin paripurna pengesahan UU KPK hasil revisi di DPR.
Fahri pun mencontohkan sejumlah peristiwa yang disebutnya mengganggu Jokowi. Pertama, terkait batalnya Budi Gunawan menjadi Kapolri. Seperti diketahui, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka setelah Jokowi mengajukan namanya ke DPR untuk menjalani fit and proper test.Â
Penetapan tersangka yang kemudian digugurkan PN Jakarta Selatan itu, menurut Fahri, mengganggu Presiden.
Demikian juga ketika di awal masa pemerintahannya Jokowi hendak membentuk kabinet. Jokowi sempat meminta penilaian terhadap sejumlah nama  yang akan dijadikan menteri. KPK kemudian mengklasifikasi nama-nama itu dalam amplop hijau, kuning dan merah. Artinya Jokowi hanya diperbolehkan menunjuk nama calon pembantunya di amplop hijau sehingga terkesan mencampuri hak prerogatif Presiden.
Contoh lain adalah kasus penolakan pegawai dan komisioner KPK terhadap Kapolda Sumatera Selatan Irjen Pol Firli Bahuri yang tengah mengikuti proses seleksi calom pimpinan KPK. Bahkan pimpinan KPK merilis fakta jika Firli pernah melakukan pelanggaran etik ketika menjabat deputi penidakan KPK.
Contoh yang dijadikan dasar kesimpulan Fahri Hamzah, terutama yang ketiga, Â bukan lagi menyerang KPK, tetapi menggiring opini seolah Firli "orang" Jokowi.Â
Meskipun sejatinya pimpinan KPK dipilih oleh Presiden, terlebih setelah pengesahan revisi UU-nya di mana KPK ditegaskan sebagai bagian dari rumpun eksekutif yang dipimpin oleh Presiden, tetapi jika benar Presiden memiliki interes terhadap satu calon, maka proses seleksi oleh pansel capim KPK pimpinan pakar hukum pencucian uang Yenti Garnasih hanya formalitas belaka.
Bahaya lain di balik pernyataan Fahri, adalah adanya pembenar jika revisi UU KPK dilakukan atas dasar balas dendam sehingga muaranya untuk melemahkan. Artinya, bertentangan dengan pernyataan Presiden selama ini jika revisi dimaksudkan untuk memperkuat KPK.
Kita meragukan argumen Fahri karena beberapa hal. Pertama, Fahri dikenal sebagai pendukung militan dalam hal revisi UU KPK. Rekam jejaknya terentang sejak Presiden PKS (saat itu) Luthfi Hasan Ishaaq dicokok KPK. Syahwat Fahri untuk "mengobok-obok" KPK bukan rahasia lagi.
Kedua, Fahri paham betul, revisi itu mendapat penolakan luas dari masyarakat, terutama para aktivis penggiat antikorupsi dan juga akademisi. Sebagai politisi PKS "terbuang" dan akan segera meninggalkan Senayan, Fahri sadar harus segera mencari cara untuk kembali ke panggung politik agar namanya tidak tenggelam dengan membawa catatan sebagai "penggali" kuburan KPK.