Salah satu dari tujuh butir yang telah disepakati DPR dan pemerintah dalam revisi UU Nomor 30 Tahin 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK adalah kedudukan lembaga antirasuah tersebut. Perdebatan apakah KPK bagian dari eksekutif atau yudikatif pun kembali mengemuka karena memiliki implikasi luas.
Dalam draf revisi yang sudah disepakati tersebut, KPK disebut sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada rumpun kekuasaan eksekutif meski dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya tetap independen.
Kesepakatan itu sesuai dengan pendapat ahli hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra. Menurut Yusril saat menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebut KPK adalah komisi negara independen, fungsi KPK terkait penyidikan dan penuntutan adalah'ranah eksekutif sebagaimana Kejaksaan dan Kepolisian. Oleh karenanya, sebagaimana putusan MK, KPK dapat dijadikan objek Hak Angket DPR.
Namun Prof Mahfud Md memiliki perdapat berbeda dengan menyebut KPK adalah badan quasi yudikatif dikaitkan dengan Pasal 24 ayat 3 UUD 1945.
Mana yang benar? Apakah dengan revisi tersebut, KPK tidak lagi menjadi lembaga ad hoc?
Perbedaan apakah KPK rumpun eksekutif atau hampir yudikatif, dengan sendirinya gugur jika revisi UU KPK yang memuat poin di atas disahkan. Perbedaan tafsir tinggal di ranah akademik sambil menunggu keajaiban pada pemerintah dan DPR mendatang untuk kembali mengubahnya, setidaknya memberi penegas dengan alas yang kokoh.
Yang menarik saat ini justru tafsir independen yang dimaksud dalam revisi UU KPK. Sejauh apa independensi yang dimiliki? Jika KPK bagian dari eksekutif sehingga berada di bawah Presiden, masih mungkinkah KPK "mengawasi" lembaga kepresidenan?
Sebagai sesama lembaga penegak hukum di bawah Presiden, patutkah KPK "menggeledah" Kejaksaan dan Kepolisian seperti dilakukan sebelumnya dalam kasus-kasus yang menyeret oknum di dua lembaga tersebut?
Jika dikembalikan kepada semangat awal pembentukkannya, sulit untuk tidak mengatakan hasil revisi UU itu telah mengamputasi ruang gerak KPK. Sebab KPK dibentuk dengan dasar keprihatinan terhadap lembaga penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan yang saat itu mirip "sapu kotor". Ketidakpercayaan publik mendapat pembenaran ketika KPK berulangkali berhasil membongkar praktek korupsi dan mencocok puluhan oknum dari lembaga penegakan hukum, termasuk yudikatif.
Itu baru satu poin. Bagimana dengan poin dewan pengawas? Sebagai konsekuensi keberadaannya yang berada di rumpun eksekutif, maka dalam melakukan pengawasan terhadap KPK, Presiden memilih dewan pengawas yang jumlah anggota dan masa kerjanya sama dengan komisioner KPK.
Keberadaan dewan pengawas benar-benar "menghabisi" keistimewaan KPK sebagai lembaga superbody- meski dalam UU tidak pernah disebut demikian.Â
Keharusan melapor, bahkan sebelumnya sempat muncul wacana untuk meminta izin terlebih dahulu kepada dewan pengawas sebelum melakukan penyadapan, bukan hanya membuka ruang kemungkinan terjadinya kebocoran informasi, namun juga menghambat dan menjadikan KPK tak lebih robot yang pekerjanya diremote oleh dewan pengawas.
Tidak ada jaminan dewan pengawas tidak melapor terlebih dahulu kepada presiden terkait penyadapan yang diusulkan KPK mengingat keberadaannya memang tidak lebih sebagai perpanjangan "mata" dan "telinga" Presiden di KPK.
"Kematian" KPK menjadi sempurna jika pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Pegawai KPK tidak lagi tunduk pada UU KPK. Lebih dari itu, penunjukkan dan pengangkatan pejabat dengan golongan/kepangkatan tertentu pastinya harus mendapat persetujuan dari induk organisasi pegawai. Sangat mungkin pengangkatan seorang deputi juga harus mendapat persetujuan Istana.
Dari sederet tafsir di atas, masih yakinkah kita jika revisi UU dimaksudkan untuk memperkuat KPK seperti janji Presiden Jokowi?
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H