Anggota Komisi II DPR Masinton Pasaribu menyebut pimpinan KPK saat ini dihinggapi paham anarko sehingga kerap menentang keputusan politik negara. Oleh karenanya politikus PDIP ini tidak mau pimpinan KPK mendatang- yang saat ini tengah menjalani fit and proper test di Komisi III, terpapar paham serupa.
Anarko adalah istilah dari cabang anarkisme- paham yang menghalalkan kekerasan untuk menentang sistem negara dan perangkatnya karena dianggap menindas kehidupan individu (rakyat). Penganut paham anarko cenderung tidak mau menerima kehadiran negara dan aturan-aturan hukum yang menyertainya.
Dari definisi itu, maka menyebut komisoner KPK sebagai penganut paham anarko, sulit diterima nalar sehat jika hanya merujuk pada satu-dua sikap atau keputusannya. Terlebih lagi rujukan tersebut masih bisa diperdebatkan.
Mari kita uji seberapa benar tudingan Masinton. Poin pertama yang menjadi contoh atau rujukan adalah penolakan pimpinan KPK untuk menjalankan rekomendasi Pansus Hak Angket KPK bentukan DPR.
Dasar ini jelas kurang tepat. Ingat, pembentukan pansus sendiri mendapat penolakan dari sebagian besar elemen masyarakat dan tidak semua fraksi di DPR menyetujui keberadaan pansus. Bahkan saat perpanjangan masa tugas pansus, empat fraksi yakni PKS, PAN, Gerindra, dan Demokrat walk out.
Benar setelah menjadi keputusan DPR, tetap mengikat semua pihak termasuk mereka yang menolaknya. Sejalan dengan itu, dalam dalam suratan jawabannya, bukankah KPK menerima hasil pansus dan menyatakan bersedia melakukan hal-hal yang direkomendasikan?
Terhadap beberapa poin yang dianggap berpotensi melemahkan kewenangannya, KPK menolak, tentu juga harus dihargai oleh DPR dan tidak dimaknai sebagai bentuk pembangkangan.
Poin kedua, Masinton menyebut penolakan pimpinan KPK terhadap rencana revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Menurut Masinton, seluruh institusi negara harus tunduk pada keputusan politik negara yang dihasilkan DPR maupun Presiden.
Agak sulit memahami logika Masinton. Penolakan yang disuarakan KPK adalah hal yang wajar sebagai kekhawatiran adanya upaya pelemahan atau obyek balas dendam karena banyak anggota DPR yang ditangkap KPK. Bukankah penolakan itu tidak bisa menghambat proses di DPR?
Beda halnya jika revisi UU telah diputuskan, diundangkan dan KPK menolak. Ranahnya sudah pembangkangan dan ada sanksi untuk itu.
Jika hanya suara penolakan sebagai ekspresi kekhawatiran revisi itu memiliki niat di luar penguatan pemberatasan korupsi, tentu belum dapat dikategorikan sebagai pembangkangan.