Tekanan terhadap Yenti mungkin saja terkait dengan kuatnya hembusan sebagai calon Jaksa Agung. Tetapi tidak menutup kemungkinan ada unsur lain seperti gugurnya para komisoner KPK dan upaya "penguasaan" KPK oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
Terlepas motif di baliknya, tekanan itu harus dimaknai sebagai ujian bagi Yenti, yang memiliki nama belakang sama dengan mantan istri Presiden Soekarno, Inggit Garnasih.
Jika gagal memenuhi ekspektasi publik, bukan hanya menutup peluangnya menjadi perempuan pertama yang menduduki posisi Jaksa Agung, namun juga jabatan publik lainnya.
Yenti Garnasih harus berani mengoreksi keputusan pansel jika memang terdapat kekeliruan. Tidak perlu menantang pihak lain untuk membuktikan tuduhannya. Opini yang berkembang saat ini bukan kasus TPPU yang dapat jlentreh dengan pembuktian terbalik.
Yenti juga tidak bisa "melempar kasus" kepada Presiden, semisal tetap menyertakan nama-nama yang diopinikan bermasalah sehingga jika nama itu terpilih dirinya bisa mengelak dengan kalimat "yang memilih kan Presiden, bukan saya".
Mandat yang diterimanya tidak memungkinkan untuk melakukan hal demikian. Bukankah pansel dibentuk untuk membantu Presiden, bukan malah membebani dengan masalah?
Yenti dan timnya harus bisa membuktikan, 10 dari 20 nama yang nantinya dipilih dan diserahkan kepada Presiden, benar-benar bersih dan kredibel.
Salah satu caranya adalah dengan meminta Firli membuktikan adanya pertemuan dengan seluruh pimpinan KPK yang memutus dirinya tidak melanggar kode etik. Jika Firli tidak bisa membuktikan klaimnya, maka Yenti harus tegas mencoret dari daftar capim KPK.
Berani, Bu?
Salam @yb
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI