Bantahan Bestari menjadi semakin rancu karena justru di era Anies pembangunan ITF tengah digencarkan dan dipercepat setelah selama lima tahun sebelumnya mandeg.Â
Seperti diketahui, pada tahun 2012 Gubernur DKI Jakarta (saat itu) Fauzi Bowo sudah berhasil membangun ITF Cakung Cilincing. ITF ini mampu mengolah sampah hingga 1.300 ton per hari dan menghasilkan listrik 4,95 MW.
Mengingat volume sampah di Jakarta mencapai 7.500 ton perhari- bukan hanya 1.300 ton perhari seperti Kota Surabaya sehingga cukup diselesaikan dengan satu ITF, maka perlu ada tambahan ITF.Â
Fauzi Bowo pun sudah merencanakan pembangunan ITF Sunter dan ITF Marunda, bahkan sudah memasuki proses penawaran. Namun selama kepemimpinan tiga gubernur berikutnya yakni Joko Widodo, Ahok hingga Djarot Saiful Hidayat, tidak ada kabar kelanjutan pembangunan ITF.
Setelah mendapat mandat, Anies langsung melakukan kajian pembangunan ITF dan mengeksekusinya. Sebagai contoh, pada akhir 2018 lalu, Anies melakukan grounbreaksing IFTÂ Sunter, Jakarta Utara yang sudah terkatung-katung selama lima tahun. Pembangunan ITF tersebut diperkirakan akan rampung paling lambat tahun 2022.
Tulisan terkait : Anggaran Pengelolaan Sampah Kota Surabaya Ternyata Fantastis
Pertanyaan kita, mengapa baru sekarang Bestari Barus "peduli" terhadap pengelolaan sampah, padahal persoalan ini sudah terjadi sejak 10-20 tahun lampau, bahkan sudah menjadi salah satu persoalan klasik di Ibu Kota? Apa karena masa aktif Bantargebang sudah dekat sehingga baru tersadar lantas menuding gubernur saat ini tidak bisa bekerja sampai merasa perlu mendatangkan Risma? Bukankah andai pembangunan ITF yang sudah dimulai sejak Fauzi Bowo dilanjutkan oleh para penggantinya, persoalan sampah di Jakarta sudah selesai bahkan sebelum era Anies?
Lagi pula, membandingkan persoalan sampah di Surabaya dengan Jakarta juga tidak apple to apple. Di samping luas wilayah dan jumlah penduduk yang berkorelasi dengan volume sampah yang dihasilkan tidak sama, di mana produksi sampah Kota Surabaya hanya 1.300 ton perhari, kurang dari 1/5 sampah DKI, anggaran yang disebutkan Bestari pun tidak tepat karena duit Rp 3,7 triliun tersebut bukan hanya anggaran untuk pengelolaan sampah, melainkan total anggaran Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
Kita tidak berharap, siapa pun "mengadu-domba" pimpinan daerah demi tujuan lain, terlebih jika tidak menggunakan dasar yang tepat dan komprehensif. Sebab hal itu hanya menimbulkan kegaduhan tanpa pernah menyelesaikan substansi permasalahan yang ada. Mengkritik, bahkan menentang kebijakan eksekutif, adalah tugas seorang anggota legislatif.
Tetapi memuji satu kepala daerah seraya menyerang kepala daerah lainnya bukan atas dasar data dan kondisi yang tepat, tentu bukan tugas anggota DPRD. Tidak elok menyebut kepala daerah tidak bisa bekerja jika landasannya sakit hati, apalagi balas dendam, akibat kekalahan jagoannya dalam kontestasi politik sebelumnya. Â Â Â Â
Salam @yb