Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

3 Kebijakan Jokowi yang Paling Dikaitkan dengan Orde Baru

30 Juni 2019   05:09 Diperbarui: 1 Juli 2019   13:15 3049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi bersama prajurit TNI. Foto: KOMPAS.com/Fabian Januarius Kuwado

Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI. Keberadaannya melengkapi 2 kebijakan sebelumnya yang paling dikaitkan dengan Orde Baru.

Terbitnya Perpres Nomor 37 Tahun 2019 yang diteken Presiden Jokowi tanggal 12 Juni 2019 yang mengatur kedudukan dan hak prajurit dalam penugasan di suatu kementerian atau lembaga seolah merupakan jawaban atas penumpukan perwira tanpa jabatan fungsional di lingkungan TNI. 

Dengan adanya PP tersebut, maka para jenderal bintang satu dan dua, mendapat kesempatan menduduki jabatan fungsional ahli utama di lembaga atau organisasi di luar TNI tanpa harus mengundurrkan diri. Sedang untuk perwira pertama dari Letnan Dua hingga Kapten, diberi kesempatan menduduki jabatan fungsional ketrampilan

Itu sebabnya pemerintah menepis anggapan Perpres 37/2019 sebagai neo-dwifungsi ABRI (kini TNI). Menteri Koordinator Bidang KemaritimanLuhut Binsar Pandjaitan menegaskan tidak ada rencana untuk mengembalikan dwifungsi ABRI. 

Hal senada dikatakan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Menurutnya, penempatan anggota TNI di lembaga sipil tersebut berbeda dengan dwifungsi ABRI. Alasannya, dwifungsi ABRI merupakan bentuk kekaryaan alias penugasan, sementara kebijakan saat ini didasarkan pada profesionalisme.

Bantahan pemerintah tidak serta merta dapat menghilangkan prasangka akan kembalinya dwifungsi ABRI yang menjadi ciri utama rezim Orde Baru (Orba). Sebab Perpres 37/2019 justru berpotensi maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur berdasarkan pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebagaimana diungkap anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu.

Jika di dalam UU 34/2004 anggota TNI hanya dibolehkan mengisi 10 institusi dan berdasarkan permintaan kementerian/lembaga sipil serta wajib mundur, maka di Perpres 37/2019, anggota TNI yang ditugaskan pada jabatan fungsional tetap bisa kembali ke induk kesatuan karena memang tidak ada keharusan mengundurkan diri.

Perpres 37/2019 juga "menabrak" UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara serta pasal 155 sampai 158 PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipi yang secara tegas melarang anggota TNI aktif masuk ke wilayah sipil. Bahkan sejak mengikuti seleksi jabatan sudah harus sudah mundur dan jika gagal tidak bisa kembali menjadi anggota TNI.

Terkait profesionalisme yang dimaksud Menhan, juga masih perlu dipertanyakan. Bukan pada kemampuan yang dimiliki, tetapi lebih pada jiwa militernya. Kemungkinan sulit bagi prajurit TNI untuk lepas dari garis komando sekali pun disebutkan dalam Perpres 37/2019 prajurit yang menduduki jabatan fungsional bertanggung jawab kepada pimpinan lembaga/organisasi di mana ditempatkan.

Jika keluarnya PP 37/2019 murni hanya untuk mengatasi penumpukan perwira yang tidak memiliki jabatan struktural di tubuh TNI, bukan didasari semangat mengembalikan dwifungsi ABRI, tetap saja sangat disayangkan. Sebab masih ada opsi lain yakni menambah jabatan struktural di lingkungan TNI dan yang paling ekstrem, menawarkan pensiun dini dengan imbalan jabatan di tempat lain.

Keberadaan Perpres 37/2018 semakin kurang tepat di tengah isu kembalinya rezom Orde Baru yang didengungkan sejumlah pihak menjelang dan selama proses Pilpres 2019. Terlebih sebelumnya sudah ada 2 kebijakan Presiden Jokowi yang juga dikaitkan dengan kebangkitan Orba.

Pertama, pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada tahun 2018. BPIP merupakan pengembangan dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP). Keberadaan lembaga yang digawangi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Dewan Pengarah ini sebagai jawaban atas keprihatinan terhadap pengikisan ideologi Pancasila, penguatan paham politik agama, radikalisme dan sikap intoleransi yang bertentangan dengan semboyang Bhinneka Tunggal Ika.

Pembentukan BPIP sempat menuai kritik tajam karena mirip Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) di masa Orde Baru dengan program andalan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4).

Presiden Soeharto mewajibkan setiap warga negara yang ingin berkiprah di lembaga publik, mengikuti penataran P4. Siapa pun yang mengkritik Soeharto, baik program kerja maupun sepakterjang keluarganya, diberi label anti-Pancasila, anti pembangunan dan- label pamungkas: antek PKI.

Saat ini, labelisasi anti-Pancasila kembali mencuat bersamaan dengan label kilafah, teroris, makar dan lain-lain sebagaimana juga pernah dikatakan Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma.

Kedua, pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI yang memiliki tugas utama memburu terduga teroris pasca revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Terorisme di mana pengaturan operasionalnya melalui perpres.

Koopsusgab merupakan gabungan personel TNI dari seluruh satuan elit yang ada di TNI, baik matra darat, laut, maupun udara. Satuan elit yang dimaksud yakni Satuan Penanggulangan Teror 181, Koprs Pasukan Khas, Bataliyon Intai Amfibi dan Detasemen Jala Mengkara.

Dengan adanya revisi UU Anti-Terorisme, maka Koopsusgab TNI dapat melakukan penangkapan terhadap terduga teroris yang dikoordinasikan dengan Detasemen Khusus 88 Anti-Teror milik Polri.

Keberadaan Koopsusgab lantas dikaitkan dengan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) di masa Orba. Kopkamtib awalnya hanya mandat dari Presiden Soekarno kepada Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk memulihkan situasi keamanan usai terjadinya peristiwa G30S/PKI.

Namun dalam perkembangannya, terutama setelah Soeharto menjadi presiden, Kopkamtib menjadi instrumen ABRI untuk "mencampuri" urusan sipil secara represif. Hal ini sempat dikeluhkan Jenderal Soemitro saat menjadi Pangkopkamtib sehingga meminta agar Kopkamtib dibubarkan. Bukannya dibubarkan, Kopkamtib justru semakin "liar" usai Soemitro mengundurkan diri. Setelah sempat dipegang sendiri, Soeharto kemudian mempercayakan tongkat Kopkamtib kepada Laksamana Sudomo.

Sepakterjang Sudomo selama mengendalikan Kopkamtib sangat melegenda karena "menyapu bersih" semua musuh Soeharto berdasar penafsiran tunggal terhadap Pancasila.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun