Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

AHY Belum Layak Pimpin Demokrat

15 Juni 2019   12:43 Diperbarui: 18 Juni 2019   09:04 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agus Harimurti Yudhoyono. Foto: KOMPAS.com/Antara

Desakan para pendiri dan kader senior agar Partai Demokrat segera menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) dengan agenda menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai ketua umum menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bukan saja melecehkan mantan Presiden RI ke-6 itu, namun juga tergesa-gesa. AHY belum layak memimpin partai mercy.

Salah satu alasan yang dikemukakan Max Sopacua, Ahmad Mubarok dan teman-temannya, adalah anjloknya suara Demokrat. Menurut Max, penurunan perolehan suara dari 10,9 persen di Pemilu 2014 menjadi tinggal 7,7 persen di Pemilu 2019 harus dievaluasi.

Jika menganut asas umum, maka evaluasi Partai Demokrat harus menyentuh nahkodahnya, top pimpinan. Dari pemahaman ini, timbul pertanyaan apakah desakan dilakukan kongres luar biasa para pendiri dan senior Demokrat didasari ketidakpercayaan lagi kepada SBY? Apakah SBY dianggap tidak mumpuni (lagi) memimpin Demokrat?

Jika benar demikian, tentu salah alamat. Jangan lupa, SBY telah menyerahkan mandat pemimpin kampanye nasional kepada AHY karena tengah fokus mendampingi Ani Yudhoyono yang saat itu tengah dirawat di Singapura.  

Desakan kongres yang kini yang kini mulai mendapat dukungan sejumlah pegurus daerah tersebut, dengan agenda utama mengganti SBY juga kurang elok mengingat masih dalam suasana duka karena belum genap 40 hari meninggalnya Ani Yudhoyono.

Beda halnya jika wacana itu justru dihembuskan oleh Cikeas sendiri. Tujuannya untuk meyakinkan pihak lain yang ingin mematangkan koalisi, atau bahkan hendak memberikan jatah kursi kabinet dengan jaminan AHY bisa mandiri dalam mengambil keputusan politik, lagi di bawah bayang-bayang SBY.

Tentu menyulitkan pihak lain, semisal Presiden Joko Widodo atau pun Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri merundingkan koalisi jika AHY hanya bertindak selaku "pengantar dan penerima pesan".

Terlepas skenario mana yang benar, tetapi mendorong AHY untuk menahkodahi Partai Demokrat saat ini, kurang tepat.

Pertama, AHY belum memiliki jam terbang yang dibutuhkan dalam negoisasi-negoisasi politik. dengan hanya memiliki sekitar 57 kursi di DPR, Demokrat harus piawai "menempatkan kaki" dalam isu-isu strategis untuk merebut kembali simpati masyarakat.

Jika pun bergabung dalam koalisi pemerintah, Demokrat tidak harus berserah badan secara total. Demokrat bisa belajar dari PKS saat mendukung koalisi pendukung pemerintahan SBY. Ada saat di mana PKS tampil menjadi diri sendiri setelah kepentingan koalisi terpenuhi. Contohnya ketika PKS menolak pencabutan subsidi BBM yang berimbas pada kenaikan harga di era SBY.

Ingat, PKS mengambil sikap demikian setelah memastikan tanpa dukungan suara PKS, kebijakan kenaikan harga BBM yang diinginkan pemerintahan tetap terwujud. PKS menmgambil kesempatan di "tikungan terakhir" untuk memenuhi harapan konstituennya.

AHY masih membutuhkan waktu untuk memetakan kekuatan- juga kelemahan, Partai Demokrat agar tidak semakin dijauhi masyarakat. AHY juga harus mengenal lebih baik lagi slogan-slogan yang menegaskan ciri khas dan tujuan partai, bukan semata menjual ketegasan seperti slogan SI4P. Bagaimana mungkin mengusung slogan berbau disiplin ala militer untuk mendekati pemilih milenial. Tidak nyambung!

Kedua, Partai Demokrat masih membawa beban politik besar, salah satunya isu korusi yang menjerat mantan pimpinan dan kader-kader topnya. Ingatan masyarakat masih lekat dengan hal itu. PKS membutuhkan dua fase kepemimpinan untuk mengikis belitan isu korupsi yang menjerat Presiden PKS (saat itu) Lutfhi Hasan Ishaaq. Dengan asumsi membutuhkan waktu yang sama, ketua umum Demokrat di periode ini harus mampu menawarkan isu-isu menarik untuk "mengubur" perbuatan Anas Urbaningrum, Nazarudin, Angelina Sondakh dll.

AHY yang masih harus membangun citra demi tujuan politik pribadi yang lebih besar yakni menjadi calon presiden di Pilpres 2024, sepetinya tidak akan memiliki waktu untuk memikirkan hal-hal demikian.

Ketiga, seperti halnya Puan Maharani atau Prananda Prabowo di PDIP, AHY juga tidak akan mudah melepas bayang-bayang orang tuanya. Jika gagal mengelola isu ini,bukan mustahil menciptakan dua kutub di tubuh Demokrat. Kader dan simpatisannya tidak akan sertamerta mempercayai ucapan AHY sebelum ada pernyataan SBY.

Untuk mengikis kemungkinan terjadinya hal itu, AHY harus berani membuat gebrakan politik yang berbeda, bahkan jika perlu, berseberangan dengan SBY. Kita ragu AHY berani melakukan hal itu.

Melihat hal-hal tersebut di atas, sebaiknya kader-kader Demokrat tidak buru-buru mendorong AHY untuk mengambialih kepemimpinan. Beri AHY ruang gerak yang lebih leluasa untuk menambah jam terbang di pentas politik tanah air yang saat ini terasa sempit karena hanya menampilkan dua poros kekuatan.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun