Tanpa bermaksud mendahului kinerja tim hukumnya, Â upaya pasangan Prabowo Subianto -- Sandiaga Salahudin Uno menggugat hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah wujud kesia-siaan karena sulit- Â sekedar tidak mengatakan mustahil, bisa membatalkan kemenangan Joko Widodo -- Mar'uf Amin yang telah ditetapkan KPU. Â Mungkinkah ada agenda lain, bukan sekedar menang-kalah?
Berdasar hasil rekapitulasi yang sudah disahkan KPU, Jokowi-Ma'ruf memperoleh 85.607.362 suara, sedang Prabowo-Sandi 68.650.239 suara alias selisih 16.957.123 suara. Dengan demikian untuk membalikkan kemenangan, tim Prabowo harus membuktikan sedikitnya 8,5 juta suara miliknya "dicuri" Jokowi -- Ma'ruf.
Jika MK sekedar memutus 8,5 juta suara tidak sah, maka hal itu tidak akan mengubah hasil pilpres, terlebih jika diharuskan ada pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah TPS dengan mata pilih setara 8,5 juta.
Situasi akan berbeda jika PSU dilakukan di ribuan TPS dengan mata pilih setara 16,9 juta lebih. Dengan demikian kedua paslon memiliki kans yang sama. Jika Prabowo ingin langsung ditetapkan sebagai pemenang maka amar putusan MK harus menyatakan adanya setengah lebih dari selisih perolehan suara keduanya yang langsung menjadi milik Prabowo -- Sandi. Â Â Â Â Â Â
Putusan demikian adalah absurd. Terlebih bukti yang disiapkan sebagai bahan gugatan sangat minim, hanya 51 item. Di atas kalkulator, dengan model hitung bagaimana pun, tidaklah mungkin putusan MK akan bisa mengubah hasil Pilpres 2019.
Tim hukum Prabowo -- Sandi pastinya paham akan hal itu. Sangat mungkin, ketika beberapa anggota tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo -- Sandi, termasuk Dahnil Anzar Simanjuntak, menyuarakan ketidakpercayaannya dengan MK, ada faktor demikian. Bahkan sejak awal sebenarnya Prabowo juga enggan menggunakan jalur konstitusional tersebut. Â
Menjadi menarik ketika belakangan tim Prabowo berubah pikiran. Dengan digawangi Hashim Djojohadikusumo, tim hukumnya yang beranggotakan mantan komisironer KPK Â Bambang Widjojanto, mendaftarkan gugatan ke MK, Jumat tengah malam lalu. Agenda apa yang sebenarnya mereka usung?
Jika melihat situasi sebelum, selama dan sesudah gelaran Pilpres 2019, kita bisa menemukan benang merahnya.
Pertama, upaya untuk memperpanjang perlawanan secara konstitusional. Ada sebagian simpatisan Prabowo, terutama dari kelompok nonpartisan, yang sejak awal memang tidak simpati dengan Jokowi. Mereka bukan pendukung Prabowo, tetapi tokoh lain yang membutuhkan figur ketiga (proxy) untuk melakukan perlawanan.
Jauh sebelum gelaran Pilpres 2019, mereka sudah menyuarakan tekad untuk menggulingkan Jokowi, baik secara konstitusional atau pun cara lain semisal gerakan massa. Momentum itu didapat setelah KPU mengumumkan hasil pilpres. Narasi perlawanan dengan menggunakan kekuatan massa didengungkan sedemikian masif.
Sayangnya, partai-partai pendukung Prabowo, di luar Gerindra, terlalu takut. Mereka buru-buru cuci tangan dan menjauh agar tidak terkena cipratannya. Bukan hanya Demokrat dan PAN, namun juga PKS yang dikenal memiliki pendukung fanatik sebagaimana PDIP. Setelah Mardhani Ali Sera "mengharamkan" tagar 2019 ganti presiden, tidak ada petinggi PKS yang menyatakan dukungan pada aksi di jalanan.