Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kabinet Rekonsiliasi, Mungkinkah?

10 Mei 2019   20:53 Diperbarui: 11 Mei 2019   15:01 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi berkunjungan ke kediaman Prabowo di Hambalang. Foto: KOMPAS.com/Ihsanuddin

Dari suara-suara yang terekspode baik pemberitaan media mainstream maupun media sosial, baik yang diucapkan tokoh-tokoh politik maupun masyarakat awam, Pilpres 2019 tidak "akan selesai" usai penetapan hasilnya oleh KPU tanggal 22 Mei mendatang. Bahkan suara penolakan semakin mengkristal yang bila gagal diantisipasi dengan baik, bukan mustahil akan menimbulkan benturan sosial, terutama antar pendukung kedua kubu.

Kita mengapresiasi berbagai langkah yang sudah ditempuh pemerintah. Upaya Sayangnya belum membuahkan hasil. Upaya Pressiden Joko Widodo mengangkat (kembali) isu pemindahan Ibu Kota, pembentukan tim hukum Kemenko Polhukam, gerak cepat pihak kepolisian mentersangkakan penganjur people power, hingga menggandeng PAN dan Demokrat untuk memecah kekuatan kubu Prabowo Subianto -- Sandiaga Salahudin Uno, masih belum mampu menurunkan ketegangan politik saat ini.

Jalan yang paling cepat dan dijamin efektif mengeliminir kemungkinan terjadinya benturan saat penetapan hasil Pilpres 2019 yang diyakini akan dimenangkan oleh pasangan Jokowi -- Ma'ruf Amin,  adalah membujuk Prabowo untuk menerima apa pun hasil keputusan KPU. Sayangnya, Prabowo masih meyakini dirinya dicurangi. Prabowo menolak pertemuan yang diminta Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan- yang bertindak selaku utusan Presiden Jokowi.  

Penolakan itu cukup mengejutlkan mengingat selama ini Prabowo cenderung "mengalah" jika sudah "dipangku" sebagaimana tabiat orang Jawa. Sikap Prabowo ditengarai karena adanya masukan dari orang-orang di sekelilingnya yang menyodorkan "bukti-bukti" kemenangannya.

Akankah kita menyaksikan terjadinya benturan antara pendukung Jokowi dan Prabowo? Kita berharap hal itu hanya ramai di media sosial. Kita meyakini pendukung keduanya cukup dewasa dalam berpolitik dan mau menerima hasil proses elektoral, sekali pun mungkin tidak memuaskan.
Sayangnya, hanya berharap pada tataran idealis juga bukan sikap bijak. Harus disertai dengan upaya-upaya pendekatan yang lebih persuasif dan dengan semangat tidak untuk mengalahkan, apalagi mempermalu. Apa salahnya pihak pemenang menawarkan "kompensasi" sehingga mengesankan adanya win-win solution.

Salah satunya adalah pembagian kekuasaan di tingkat kabinet. Meski tidak dikenal dalam konstitusi kita, namun juga tidak ada aturan baku yang melarangnya. Di negara-negara kampiun demokrasi kita pun sering menyaksikan penyelesaian politik model ini. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kala pernah mengatakan, partai oposisi bisa menjadi partai pemerintah dengan imbalan kursi menteri. Hal itu terjadi dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK.
Menurut JK saat memberikan kuliah umum kepada Peserta Program Pendidikan Reguler ke-56 dan Program Pendidikan Singkat (PPSA) ke-21 Lemhanas Tahun 2017, di Istana Wakil Presiden, 28 Agustus 2017, awalnya koalisi Jokowi-JK hanya didukung oleh 36 persen kekuatan di parlemen. Dalam perjalanannya, satu per satu partai oposisi merapat hingga akhirnya pemerintah memiliki dukungan 70 persen lebih kursi parpol di Senayan.

"Partai yang oposisi bisa jadi partai pemerintah dengan tentu diberi imbalan menteri," kata Kalla seperti dikutip dari KOMPAS.com

Upaya tersebut sepertinya sudah dimulai ketika Jokowi  bertemu Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Komandan Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Sayangnya, kondisi saat berbeda dengan Pilpres 2014 di mana Prabowo yang awalnya menolak hasil Pilpres akhirnya mau menerimanya usai putusan Mahkamah Konstutusi (MK).

Sekarang Prabowo sepertinya tidak mau membawa dugaan kecuranganyang ke MK. Meski tidak akan sampai pada seruan people power, tetapi kita kuatir Prabowo akan lepas tangan terhadap tindakan yang akan ditempuh para pendukungnya.

Dari pada menghabiskan waktu di pedalaman Kalimantan sambil berharap suhu politik akan turun dengan sendirinya, kini saat yang tepat bagi Jokowi untuk menemui Prabowo dengan membawa konsep penyelesaian yang saling menguntungkan. Salah satunya mungkin tawaran untuk berbagi kabinet. Daripada hanya memberikan ke Demokrat atau PAN, lebih tepat jika Jokowi menawarkannya kepada Prabowo.

Apakah tidak bertentangan dengan prinsip hak prerogatif Presiden? Justru ini implementasi dari hak tersebut sepanjang tidak ada tekanan. Artinya Jokowi hnaya mendelegasikan sebagian haknya demi kepentingan yang lebih luas.

Apakah kelak tidak akan merecoki, bahkan menyandera Presiden Jokowi? Hal itu hanya soal teknis. Sebab kewenangan atas menteri yang direkomendasikan Prabowo sepenuhnya tetap ada di tangan Presiden. Sama seperti menteri-menteri di kabinet saat ini yang berasal dari partai pendukung. 

Jika menteri bersangkutan tidak bekerja sesuai garis kebijakannya, Jokowi bisa mereshuffle dan meminta gantinya pada Prabowo sebagaimana ketika Jokowi meminta Golkar menyiapkan pengganti Menteri Sosial Idrus Marham yang saat itu tersandung kasus korupsi.  

Tentu tidak ideal. Tetapi harus dipahami, kondisi saat ini memang tidak tepat untuk membentuk kabinet zaken atau model kabinet ideal lainnya. Ada persoalan yang lebih penting dan krusial yakni persatuan nasional. Bahwa pilpres yang kita anut menggunakan asas suara terbanyak sebagai pemenang, ya. 

Tetapi banyaknya daerah yang dimenangkan Prabowo (berdasar quick count) juga harus menjadi perhatian serius dan menjadi bagian dari model penyelesaian yang ditawarkan.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun