Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Hanya PKS yang Bisa Begini

8 Mei 2019   14:13 Diperbarui: 8 Mei 2019   14:37 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum gelaran Pemilu 2019, sejumlah lembaga survei menermpatkan elektabilitas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di posisi "hidup-mati". Ternyata bukan hanya berhasil lolos ke Senayan, perolehan sementara PKS yang didasarkan pada hasil quick count, juga jauh di atas partai media darling. Apa rahasianya?

Sulit untuk memutuskan mana yang lebih militan antara kader PKS dengan kader PDI Perjuangan. Militansi kader kedua partai ini menjadi sisi paling manarik ketika membahas kontestasi elektoral, baik tingkat lokal maupun nasional.Tetapi untuk Pemilu 2019, kader PKS layak mendapat apresiasi lebih baik karena beberapa hal.

Pertama, kenaikan perolehan suara PKS benar-benar di luar dugaan. Berdasar hasil quick count sejumlah lembaga, termasuk Litbang Kompas, perolehan suara PKS mengalami kenaikan cukup signifikan dibanding Pemilu 2014. Dengan perolehan sekitar 8%--9%, PKS berada di kelompok kedua pemenang Pemilu 2019 bersama PKB dan Nasdem, di mana kelompok pertama  ditempati PDIP, Gerindra dan Golkar. Pada Pemilu 2014, PKS hanya memperoleh 6,79%.

Kedua, PKS tengah diterpa isu penggembosan sebagai dampak perseteruannya dengan Fahri Hamzah, kader PKS yang menolak tunduk pada jajaran pengurus PKS saat ini sehingga berbuntut pemecatan. Beberapa kali Fahri membuat pernyataan yang merugikan PKS, bahkan aktif mendorong eksistensi Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi). Ada keyakinan, Garbi menjadi sekoci bagi kader-kader PKS pro Anis Matta, mantan Presiden PKS, andai PKS gagal memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4%.

Banyak yang memprediksi suara PKS akan tergerus oleh kehadiran Garbi. Meski tidak terang-terangan hengkang dari PKS, namun kader yang membelot ke Garbi diyakini tidak akan memilih PKS. Mererka berharap PKS gagal ke Senayan sehingga Garbi memiliki alasan kuat untuk menjadi partai baru, atau setidaknya "mengambilalih" kepengurusan PKS dari tangan Sohibul Iman dan kawan-kawan.

Ternyata fakta di lapangan tidak demikian. Militansi kader PKS akhirnya teruji karena kehadiran Garbi tidak mampu menggoyahkan pilihan politik mereka. Mereka tetap setia pada PKS meski juga tidak memusuhi Garbi.

Ketiga, PKS pandai memanfaatkan situasi, terutama mengambil keuntungan elektoral atas dukungannya kepada pasangan Prabowo Subianto -- Sandiaga Salahudin Uno di Pilpres 2019. Hal ini gagal dilakukan PAN dan Partai Demokrat. Perolehan suara keduanya justru turun dibanding Pemilu 2014.

Bagaimana PKS bisa berkelit dari masalah internal dan mengambil keuntungan elektoral dari eksternal? Salah satu kuncinya adalah militansi kader. Tetapi kebijakan Sohibul Iman yang melarang kader-kader PKS terlibat kontrovesi terbuka dengan kubu lawan, terutama pendukung Presiden Joko Widodo, juga cukup ampuh meredam sentimen negatif. Kedatangan Presiden PKS itu ke istana jauh sebelum gelaran Pemilu 2019, menjadi gambaran arah kebijakannya.

Kader-kader PKS cenderung tidak mau meladeni serangan lawan, bahkan terhadap serangan terbuka seperti yang dilancarkan kader-kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI). PKS berhasil menghindari keriuhan media sehingga kader-kader di bawah leluasa bergerak, termasuk ke basis lawan. PKS berhasil menipiskan stigma buruk seperti pendukung kilafah, karena memang menghindari perdebatan-perdebatan semacam itu di media daring. PKS juga berhasil memisahkan isu-isu panas yang diusung kadernya dengan partai.

Contohnya paling nyata adalah tagar 2019 ganti presiden yang diinisiasi Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera. Seruan tersebut berhasil dilokalisir sebagai seruan kubu Prabowo, bukan PKS. dampak paling signifikan, deklarasi ganti presiden tidak hanya dihadiri kader-kader PKS namun juga kader Partai Gerindra, PAN dan masyarakat nonpartisan. Orang luar akan dengan mudah menilai tager ganti presiden sebagai milik PKS namun digelorakan lintas partai dan bahkan masyarakat yang antipati pada PKS.

Logis ketika sekarang Mardani mengharamkan tagar ganti presiden, karena pemilu sudah selesai dan PKS "tidak berkepentingan" dengan hasil Pilpres, selain ada kepentingan lain yang tidak kalah urgen yakni untuk menghindari kesan PKS terlibat dalam kampanye people power yang disuarakan sejumlah tokoh.

Hanya PKS yang bisa memainkan politik begini. Partai-partai lain, terlebih partai baru,  masih terjebak pada politik hitam putih sehingga kurang kreatif dalam bermanuver.

salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun