Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tim Hukum Nasional, Kado Terindah dari Wiranto Usai Pilpres

7 Mei 2019   10:56 Diperbarui: 7 Mei 2019   11:41 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menko Polhukam Wiranto mengatakan pemerintah akan membentuk Tim Hukum Nasional (THN) untuk mengkaji semua ucapan, pemikiran, dan tindakan tokoh yang melanggar hukum. Wiranto menyebut saat ini ada seorang tokoh di luar negeri yang kerap menghasut masyarakat untuk berbuat inkonstitusional usai gelaran pemilu. 

"Jangan seenaknya di negeri yang mempunyai dasar hukum ini," ujar Wiranto usai memimpin rapat terbatas tingkat menteri di kantornya, kemarin.
Pemantauan terhadap pelanggaran hukum juga dilakukan di dunia maya. Wiranto ingin Kemenkominfo bertindak lebih tegas, hingga shut down, terhadap media yang mendorong pelanggaran hukum.

Niat pemerintah membentuk THN mendapat reaksi negatif dari kubu oposisi. Bahkan calon Wakil Presiden Sandiaga Uno menyebutnya sebagai ide usang dan kurang kerjaan.

Kita sependapat dengan pemerintah perlu adanya suatu tindakan tegas terhadap pihak-pihak atau tokoh yang jelas-jelas melakukan penghasutan atau menyerang pribadi dan kehormatan presiden.

Tetapi kita tegas menolak penggunaan instrumen hukum di luar ketentuan yang sudah ada saat ini, terlebih hanya diputuskan di tingkat kemenko karena dampaknya akan sangat luar biasa. Sulit dibayangkan ada lembaga pemantau pikiran dan ucapan seseorang. Lembaga yang mengadili pikiran hanya dikenal dalam rezim totaliter.

Ada beberapa kelemahan mendasar dari tim yang akan dibentuk Wiranto. Pertama, jika niatnya hanya untuk menghentikan hasutan dari tokoh di luar negeri, maka wadah yang dibuat terlalu berlebihan karena kita sudah memiliki instrumen hukum yang bisa mencakup keinginan tersebut. Kita memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan juga pasal-pasal dalam KUHP terkait hasutan dan pemufakatan jahat.

Tidak perlu "fatwa" ahli untuk mengkajinya karena ada atau tidaknya pelanggaran terhadap ucapan dan tindakan seseorang merupakan ranah penegak hukum yang terdiri dari kepoilisian, kejaksaan dan pengadilan. Meski berisi pakar-pakar hebat, hasil kajian THN tidak bisa memutuskan seseorang bersalah atau tidak.

Kedua, apa kriteria tokoh dan siapa yang menentukan ketokohan seseorang yang akan dipantau dan dikaji ucapan dan pemikiarannya? Bagaimana jika ucapan yang dinilai melanggar hukum bukan diucapkan oleh tokoh seperti dimaksud? 

Tokoh di sini sangat bias karena pada akhirnya akan menghamtam siapa saja yang dianggap menghina dan menyerang kehormatan Presiden. Lebih berbahaya lagi jika THN dimaksudkan untuk mengatasi ketiadaan pasal Pasal 335 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 yang telah dihapus oleh MK, Januari 2014 lalu.

Jika kata "tokoh" yang dimaksud Wiranto merujuk pada pribadi, mengapa tidak langsung saja disebutkan. Sebab orang awam akan dengan mudah menduga tokoh yang dimaksud Wiranto adalah Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab. 

Salah satu indikatornya, selain saat ini tengah berada di Mekkah karena menolak mengikuti proses hukum terkait beberapa laporan di kepolisian, usai pencoblosan Rizieq Shihab mengeluarkan pernyataan yang disebutnya "Maklumat Mekkah". Poin terpenting dari maklumat ini adalah menuding kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin melakukan curang dan menyeru kepada masyarakat agar mengepung kantor KPU dan Bawaslu.

Ketiga, keberadaan THN sangat kental bernuansa proteksi total terhadap Presiden Jokowi. Tidak salah jika akhirnya media menulisnya sebagai tim pantau pencaci presiden. Artinya tim ini yang akan menyeret para pencaci presiden ke ranah hukum. Padahal penghinaan dan pencemaran nama baik termasuk delik aduan, hanya bisa diadukan oleh pihak yang merasa menjadi korban perbuatan tersebut.        

THN menjadi sangat berbahaya karena kajian terhadap ucapan, apalagi pemikiran, bersifat multitafsir. Tergantung sudut pandang yang digunakan sehingga lembaga yang paling tepat menentukan salah atau tidaknya adalah peradilan, bukan institusi lain. Jangan sampai ada lembaga yang seolah memiliki kewenangan untuk "memvonis" seseorang bersalah dan setelahnya baru dibawa ke peradilan.

Kita percaya, maksud Wiranto membentuk THN didasari keprihatinan melihat kondisi saat ini di mana saling hujat dan ekspresi ketidakpercayaan pada pemerintah, sering digaungkan di ruang publik. Jika tidak dicegah akan menjurus berbahaya. Tetapi kita tegas menolak pembentukan lembaga extra, apa pun motifnya, karena rawan menyalahi koridor demokrasi. Terlebih perangkat hukum, baik undang-undang maupun lembaga yang menangani, sudah ada dan selama ini mampu menjangkau kasus-kasus seperti itu.

Terlepas substansinya, kita layak mempertanyakan tujuan Menko Polhukam. Apakah ini hanya gertakan dengan agenda lain karena masa bakti Kabinet Kerja tinggal beberaoa bulan lagi? Terlebih saat ini juga santer terdengar akan ada reshuffle kabinet. Mungkin saja Wiranto yang kini tidak memiliki "pijakan" setelah Partai Hanura jeblok di Pemilu 2019, tengah membutuhkan "alat" lain untuk menarik perhatian Presiden Jokowi.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun