Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Misteri Elektabilitas Jokowi dan Tantangan 2019

27 Desember 2018   15:23 Diperbarui: 27 Desember 2018   16:16 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keunggulan posisi petahana ternyata belum bisa dikonversi menjadi elektabitas. Hampir seluruh lembaga survei, mendapati tingkat keterpilihan Joko Widodo belum pernah menyentuh angka 60 persen. Mengapa capaian pembangunan dan ketokohan Ma'ruf Amien belum mampu mendongkrak elektabilitasnya?

Ungkapan petahana menang banyak yang menggambarkan berbagai keuntungan seperti capaian program kerja, fasilitas dan publikasi sepertinya tidak berlaku bagi Jokowi.  Elektabilitas Jokowi masih berkutat di angka 52-56 persen.

Salah satunya seperti yang dirilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA.  Berdasarkan hasil survei November 2018, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf 'hanya' 53,2 persen.  Angka ini tidak berbeda jauh dengan hasil survei Litbang Kompas yang digelar pada 24 September-5 Oktober 2018 di mana pasangan petahana meraih 52,6 persen.

Satu-satunya lembaga survei yang menempatkan Jokowi-Maruf dengan elektailitas di atas 60 persen adalah Saiful Mujani Research Center (SMRC). Pada survei yang dirilis 7 Oktober 2018, petahana meraup 60,4 persen.

Grafis elektabilitas. Sumber: katadata.co
Grafis elektabilitas. Sumber: katadata.co
Benar, elektabilitas penantanganya Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno juga masih di bawah 40 persen, bahkan hanya 29,8 persen versi SMRC dan 32,7 versi Litbang Kompas. Tetapi dari pengalaman selama ini, elektabilitas petahana yang menjadi tolok-ukur, bukan penantangnya.  Sebab petahana bukan hanya melawan penantang, tetapi dirinya sendiri  terkait 'raport' kinerja dan kebijakannya selama memimpin. Sederhananya, warga yang tidak puas dengan kinerja pemerintah, dipastikan tidak akan memilih petahana, sebagus apapun yang dikampanyekan.

Terkait keberhasilan program pembangunan juga tidak selalu berbanding kurus dengan elektabilitas, jika keberhasilan itu tidak selaras kebutuhan  warganya. Dalam banyak kasus, program penguasa hanya memburu popularitas, dengan proyek-proyek mercusuar yang tidak memiliki korelasi langsung dengan hajat hidup masyarakat  banyak.

Siapa yang menyangkal keberhasilan Jokowi membangun jalan tol Jawa, trans Papua? Hanya mereka yang hatinya tertutup dengki sanggup mengingkari. Tetapi apakah pembangunan jalan tol memberi manfaat pada warga di Jawa terutama yang dilalui jalan tol? Itu soal lain. Silakan di data, berapa banyak sentra kuliner, rumah makan di sepanjang pantai utara yang mati setelah adanya jalan tol. Silakan ditanyakan kepada masyarakat Papua, mengapa akhir-akhir ini pekik separatisme kian lantang.

Pertanyaannya, mengapa di masa kampanye ini masyarakat tidak disuguhi data jika keberadaan jalan tol bukan hanya mempermudah perpindahan manusia dan barang, namun juga memberi manfaat bagi masyarakat di daerah-daerah yang dilalui?  Mestinya hal itu yang diekspose kubu petahana sebagai perimbangan kampanye  negatif kubu oposisi. Bukan malah sibuk mengomentari  cara kampanyenya.

Dari sini bisa diketahui mengapa elektabilitas Jokowi belum juga beranjak. Angkanya belum beranjak dari prosentase kemenangan di Pilpres 2014 yang sebesar 53,15 persen. Padahal di samping keberhasilan pembangunan, Jokowi juga mendapat tambahan dukungan dari dua partai yang sebelumnya berada di kubu oposisi yakni Golkar dan PPP.

Memasuki tahun 2019, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf harus berani mengambil inisiatif "menyerang" seperti yang pernah diserukan Ketua TKN Erick Thohir namun sampai saat belum terwujud. Sedikitnya ada tiga hal yang harus diserang dengan kampanye positif.

Pertama, isu agama. Ada pemahaman keliru di kubu TKN terkait isu agama. Ini bukan soal pribadi Jokowi dan Prabowo. Sebab fakta apapun sudah membuktikan Jokowi lebih "Islam" dibanding Prabowo.  Tetapi kampanye Jokowi memimpin sholat dan "mengejek" Prabowo  tidak bisa menjadi imam sholat, bukan jawabannya.

Persoalan ada pada keberpihakan Jokowi terhadap kelompok Islam puritan, serta keberadaan tokoh-tokoh dan partai pendukung yang dianggap anti Islam. Sebenarnya gemanya  tidak terlalu kuat manakala tim di sekitar Jokowi, dan kini TKN, tidak meladeni "provokasi" kelompok ini. Tetapi yang kita lihat justru seperti sengaja membenturkannya.  

Pernyataan-pernyataan yang kontra terus diproduksi oleh elemen di sekitar Jokowi. Maka serangan yang harus dilakukan untuk melokalisir isu ini adalah ke dalam, bukan ke luar. Erick Thohir harus berani mengambil sikap tegas kepada partai dan juga tokoh pendukung Jokowi untuk tidak memasuki isu ini, apalagi memproduksinya.

Kedua, apa yang akan dilakukan di periode kedua? Pemilih tidak loyal (swing voter) menunggu apa rencana Jokowi jika kembali terpilih menjadi Presiden, bukan apa yang telah dilakukan. Memang perlu untuk membeber keberhasilan yang sudah dicapai, tetapi lebih penting lagi adalah apa yang akan dilakukan kelak. Terlebih jika keberhasilan itu sudah diketahui masyarakat dan nyatanya tidak memberi tambahan elektabilitas.

Seperti  disinggung di atas, dalam beberapa kasus kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah tidak berbanding lurus dengan elektabilitas, apalagi perolehan suara. Pilgub DKI Jakarta 2017 bisa dijadikan referensi di mana saat itu 90 persen lebih masyarakat Jakarta puas atas kinerja petahana namun nyatanya Basuki Tjahaja Purnama kalah. 

Perolehan suaranya tidak pernah melebihi 50 persen baik di putaran pertama maupun kedua.  Adanya isu agama tidak kita ingkari. Tetapi Jokowi tetap menang meski diterpa isu agama dan bahkan PKI, baik di Pilgub DKI 2012 dan Pilpres 2014 adalah juga fakta yang tidak bisa diabaikan.

TKN harus berani menyerang dengan menyodorkan gagasan dan ide-ide baru yang akan dilakukan Jokowi jia kelak merengkuh  periode kedua. Dari pada menghabiskan energi untuk mengamati  dan mengomentari tingkah Sandiaga, alangkah lebih baik jika hal itu digunakan untuk "menyerang" dengan menyodorkan program-program yang sesuai keinginan masyarakat.

Ketiga, TKN mengambil-alih "peran remeh" yang selama ini "terpaksa" dilakukan Jokowi karena mungkin timnya tidak berjalan. Salah satu contohnya adalah pendekatan terhadap kelompok milenial. Jika sebelum masa kampanye memang tepat, tetapi tidak untuk saat ini. Melihat Jokowi berjibaku menjadi milenial dengan cara nge-vlog bareng vlogger-vlogger "amatir" terkesan terlalu memaksa.  Mestinya pendekatan semacam itu menjadi tugas TKN. Silakan dilihat video Jokowi bersama vlogger lalu bandingkan dengan video Sandiaga bersama emak-emak.

Lebih dari itu, kita berharap kedua pasangan calon dan tim suksesnya, memulai tahun 2019 dengan kampanye yang lebih substantif, tidak lagi berkutat pada isu-isu sensasional, apalagi mengeksploitasi agama yang tidak diyakini. Jangan gampang tes ombak, karena jika menjadi tsunami, yang tersisa hanya sesalan.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun