Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana dan 8 orang lainnya, membuat Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi terdiam. Nahrawi pun meminta maaf kepada Presiden Joko Widodo.
Dari keterangan pers yang disampaikan KPK diketahui, Mulyana dan kawan-kawan menggunakan modus kickback dana pencarian danah hibah untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). KPK menduga telah terjadi kesepakatan antara pihak Kemenpora dan KONI untuk mengalokasikan fee sebesar 19,13 persen dari total dana hibah Rp 17,9 miliar yaitu sejumlah Rp 3,4 miliar.
Selain menyita uang Rp 7 miliar rupiah, KPK juga sudah menetapkan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy sebagai tersangka pemberi suap. Sedang Mulyana, Adhi Purnomo selaku Pejabat Pembuat Komitmen pada Kemenpora dan Eko Triyanto sebagai Staf Kemenpora, ditetapkan sebagai tersangka penerima suap.
Menpora Imam Nahrowi patut "terdiam". Jika melihat modusnya, bukan mustahil akan menyeret nama lain. Sebab Kemenpora banyak mengelola anggaran dan dana hibah baik untuk organisasi maupun kegiatan olahraga.
Terlebih KPK telah memeriksa asisten pribadinya, Miftahul Ulum. Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Miftahul punya peran signifikan dalam kasus tersebut. Peran apakah gerangan?
Dalam banyak kasus korupsi yang terungkap di persidangan, orang dekat pucuk pimpinan di sebuah lembaga, termasuk kementerian dan pemerintahan daerah, umumnya menjadi jembatan penghubung pihak-pihak terlibat dalam suatu persengkongkolan. Banyak juga di antara mereka yang digunakan sebagai tempat "transit" uang suap.
Apakah Miftahul Ulum mengambil "peran alamiah" tersebut? Proses penyidikan masih berlangsung dan kita menunggu peran signifikan apa yang didapat KPK. Tetapi jika melihat kecepatan KPK memanggil Miftahul, kemungkinan keterangannya dibutuhkan untuk menyambung "kode-kode" yang masih terberai.Â
Tentu terlalu terlalu dini menduga keterlibatan Menpora Imam Nahrawi. OTT pejabat di ring 1 kementerian tidak selalu mengarah kepada menterinya. OTT di Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tahun 2017 lalu, terkait suap kepada pejabat BPK agar memperoleh status Wajar Tanpa Pengecualian, bisa menjadi contohnya.
Hal lain yang membuat Menpora kian "terdiam" adalah komitmen KPK untuk membongkar praktik pencairan dana-dana lain yang dititipkan di Kemenpora, termasuk anggaran untuk penyelenggaraan Asian Games 2018 lalu. Pelaksanaan Asian Games sendiri berlangsung sukses dan mendapat pujian banyak pihak. Aksi naik motor gede Presiden Joko Widodo juga mendapat apresiasi positif dari media luar negeri.
Memang masih terlalu jauh jika mengaitkan langkah KPK yang akan memeriksa proses pencairan dana hibah untuk pelaksanaan Asian Games dengan hal-hal di luar substansi penegakan hukum.
Meski demikian, langkah KPK tetap layak diapresiasi. Sebab, seperti dikatakan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, dana-dana hibah yang tidak dimanfaatkan atau diambil mestinya bisa digunakan untuk menunjang kegiatan dan prestasi atlet baik langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, cerita-cerita pilu tentang atlet yang kurang beruntung, baik dari segi prestasi maupun kesejahteraannya, bisa saja terkait dengan ulah oknum-oknum jahat di Kemenpora.