Terlepas pihak mana yang "bermain" pemasangan atribut kampanye dengan gambar "Raja Jokowi" patut disesalkan karena semakin menjauhkan pesta demokrasi dari pertarungan adu gagasan dan ide-ide untuk mensejahterakan rakyat. Terlebih sebelumnya masyarakat disuguhi ujaran-ujaran yang tidak mencerminkan keluhuran seorang pemimpin dan calon pemimpin. Ujaran Indonesia bubar, tampang boyolali, sontoloyo, genderuwo, budek dan lain-lain sangat tidak layak diucapkan oleh pemimpin dan calon pemimpin, apa pun alasannya.
Satu hal lagi, saling-sahut antar petahana Jokowi-Ma'ruf Amin dan lawannya, Prabowo-Sandiaga dengan bahasa-bahasa "pasaran" sangat-sangat tidak mendidik. Mestinya semua pihak menyadari, kubu lawan tentu menjanjikan hal-hal yang lebih baik dari saat ini, sementara kubu petahana memamerkan capaian dan janji perbaikan kekurangan di periode berikutnya.
Dengan demikian jika kubu lawan mengkritik harga tempe, tidak perlu dibalas dengan kunjungan ke pasar sambil membeli tempe. Cara-cara demikian terlalu reaktif dan, maaf, kekanak-kanakkan. Lebih elegan jika kubu petahana memaparkan keberhasilan pembangunan ekonomi secara umum dan biarkan masyarakat yang menilai. Ataukah karena menganggap masyarakat masih bodoh sehingga tidak cukup diberi penjelasan berbasis data, sampai harus disuguhi atraksi lapangan?
Jika hal-hal demikian diteruskan, jangan salahkan masyarakat yang akhirnya apatis terhadap proses demokrasi.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H