Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jika Tidak Impor Beras Kita Tewas? Darmin Tebar Ketakutan

24 Oktober 2018   01:59 Diperbarui: 24 Oktober 2018   02:16 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menko Perekonomian Darmin Nasution. Foto: KOMPAS.com/Yoga Sukmana

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution membuat statemen cukup provokatif dengan menyebut jika Indonesia tidak impor beras bisa tewas. Impor dimaksudkan untuk memperkuat stok di gudang Bulog. Lalu bagaimana dengan surplus 2,85 juta ton seperti yang dikatakan sebelumnya?

Saat rapat data produksi beras di Kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla sehari sebelumnya, Darmin memaparkan adanya surplus beras yang disebutnya bersumber dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Sebab produksi beras tahun 2018 mencapai 32,4 juta ton, sementara konsumsi hanya 29,6 juta ton.

Jika benar demikian, bukankah kita tidak perlu impor beras? Darmin punya alasannya. Beras surplus ada disimpan oleh petani. Artinya, petani tidak melepas seluruh hasil panen namun menyisakan minimal  untuk memenuhi kebutuhan sendiri sehingga Bulog kekurangan stok. Nah, beras impor digunakan untuk mengisi kekurangan stok di gudang Bulog. 

Tidak ada yang salah dengan penjelasan Darmin Nasution. Bukan hanya petani, hampir semua keluarga juga menyimpan persediaan beras untuk kebutuhan seminggu, atau bahkan mungkin sebulan.

Tetapi baik petani (yang adalah produsen sekaligus konsumen) maupun mayarakat (konsumen) sama-sama "menimbun" beras sesuai kebutuhan (konsumsi). Selama persediaan masih ada, kemungkinan mereka tidak membeli beras. Artinya, stok yang ada di petani dan konsumen adalah bagian dari jumlah yang dikonsumsi.

Bahwa dari 32,4 juta ton yang beredar di pasaran semisal hanya 27,6 juta ton, tidak lantas harus menambah 2 juta ton demi memenuhi kebutuhan 29,6 ton per tahun karena masih ada 4,8 juta ton di tangan petani yang juga konsumen.

Jika tujuannya hanya untuk menjaga stok dan operasi pasar manakala terjadi lonjakan harga di atas ketentuan, mestnya impor cukup dilakukan sekali, bukan setiap tahun. Sebab jika dilakukan setiap tahun berarti ada kelebihan konsumsi. Unutk 2018 kelebihannya mencapai sebanyak 2,85 juta ton dari suprplus ditambah 2 juta ton hasil impor. Padahal tahun 2017 produksi kita juga surplus. Lalu "dibuang" mana beras itu?

Jika jawabannya ada di gudang Bulog dan lumbung masyarakat (termasuk petani), bukankah kebutuhan tahun berikutnya tidak lagi 29,6 juta ton? Sebagai gambaran, semisal produksi beras di tahun 2017 sebanyak 30 juta ton dan impor 2 juta ton sedang konsumsi 29,6 juta ton maka ada sisa 2,4 juta ton. Dengan demikian untuk mencukupi kebutuhan konsumsi di tahun 2018 sebesar 29.6 juta ton, hanya memerlukan tambahan 27,2 juta ton. Jika produksinya 32,4 juta ton, berarti surplusnya 4,8 juta ton. Ditambah lagi impoir 2 juta ton, maka total kelebihan beras di tahun 2018 sebanyak 6,8 juta ton!

Dari asumsi di atas, meski harus dikurangi resiko dan juga memperhitungkan sebaran, klaim kita akan tewas jika tidak impor beras seperti diutarakan Menko Darmin, terlalu mengada-ada. Klaim semacam itu justru menimbulkan ketakutan dan berpotensi memicu spekulasi. Di sisi lain, para importir beras yang menjadi mitra Bulog tertawa keriangan.

Klaim Darmin yang dilontarkan di tengah polemik impor beras, bahkan memicu saling lapor polisi antara Partai Nasdem dengan pengamat ekonomi Rizal Ramli, mengingatkan kita pada klaim yang pernah disampikan Wakil Menteri ESDM  di era Susilo Bambang Yudhoyono, Susilo Siswoutomo. Saat itu di tengah polemik keberadaan Petral- anak usaha Pertamina yang memonopoli pembelian BBM di Singapura untuk diimpor ke Indonesia, Siswoutomo mengatakan jika Singapura menyetop ekspor BBM ke Indonesia, maka kita akan meninggal dalam waktu 5 hari.

Begitu rapuhkah bangsa Indonesia sehingga mudah tewas hanya karena tidak ada impor beras dan BBM?

Kita memahami pernyataan Darmin hanya sebuah analogi untuk menyederhanakan persoalan impor beras yang rumit, Namun tetap tidak tepat diucapkan oleh pejabat tinggi pemerintahan yang mestinya tidak "menakut-nakuti" warganya. Jika kita mengecam pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto terkait "ramalan" Indonesia bubar di tahun 2030, maka hal yang sama layak dilayangkan kepada Darmin Nasution.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun