Keputusan pencabutan izin 13 pulau reklamasi oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah tepat karena memiliki dasar hukum yang kuat. Lebih telak lagi karena dasar hukum yang digunakan adalah Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 yang selama ini dijadikan dasar pemberian izin 17 pulau reklamasi oleh mantan  Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Seperti diketahui pihak pro reklamasi mendasarkan argumennya pada Keppres 52/1995 di mana kewenangan untuk melaksanakan reklamasi ada di tangan Pemprov DKI. Sedang pihak yang kontra menyebut kewenangan tersebut sudah dicabut melalui  Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang rencana tata ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Â
Dari penjelasan yang disampaikan saat mengumumkan pencabutan izin 13 pulau, Gubernur Anies Baswedan juga mendasarkan pada Keppres 52/1995 yang selama ini digunakan sebagai sandaran penerbitan surat izin tersebut. Artinya Ahok dan Anies sama-sama meyakini Keppres 52/1995 masih berlaku karena yang diambil-alih Pemerintah Pusat melalui Perpres 54/2008 hanya kewenangan terkait tata ruang sebagaimana dimaksud pada pasal 70.
Tetapi Anies lebih jeli karena sesuai Keppres 52/1995, kewenangan untuk memberikan izin atau melakukan kerjasama dengan pihak pengembang, bukan berada di tangan gubernur melainkan badan pengelola relamasi. Artinya gubernur harus terlebih dulu membentuk badan pelaksana, dan kemudian badan ini yang memberikan izin reklamasi kepada pihak pengembang.
Persoalannya, badan pelaksana yang sebelumnya sudah dibentuk di masa Sutiyoso dibubarkan oleh penggantinya, Fauzi Bowo melalui Surat Gubernur Nomor 1900 Tahun 2009, tertanggal 21 Desember 2009. Tanpa Badan Pelaksana, maka secara prinsip pelaksanaan reklamasi cacat demi hukum karena melanggar prinsip dasar ketentuan Keppres 52/1995.
Namun setelah membubarkan badan pelaksana, Fauzi Bowo justru menerbitkan izin pelaksanaan sebagai kelanjutan izin prinsip dari Sutiyoso untuk Pulau 2A, yang kemudian disebut sebagai Pulau D, kepada PT Kapuk Naga Indah, pada tahun 2010.Â
Fauzi Bowo juga memasukkan proyek reklamasi pulau-pulau ke dalam program Giant Sea Wall yang kemudian menjadi National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang digagas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Oleh Fauzi Bowo, pengembang reklamasi diwajibkan untuk ikut memperbaiki tanggul laut yang telah ada, yang disebut sebagai NCICD Fase A. Dari sinilah muncul anggapan pembangunan pulau reklamasi untuk melindungi Jakarta dari banjir akibat air laut pasang (rob). Namun Ahok pernah mengatakan proyek reklamasi tidak terkait NCICD. Meski belakangan mengatakan ada keterkaitan secara tidak langsung dan kontribusi tambahan yang diperjuangkan salah satunya akan digunakan untuk membangun Tanggul Garuda tersebut.
Fauzi Bowo kembali menerbitkan izin prinsip untuk Pulau F, G, I dan K pada tanggal 21 September 2012, atau sehari setelah dirinya diketahui kalah pada hitung cepat Pilgub DKI 2012.
Tanggal 12 Desember 2013, dalam rapat dengan pendapat dengar Komisi IV DPR terkait reklamasi dan NCICD, Gubernur Jokowi mengatakan Pemprov DKI Jakarta tidak memperpanjang izin reklamasi yang dikeluarkan Fauzi Bowo. Jokowi beralasan, di samping izin-izin tersebut sudah kadaluwarsa per September 2013, Jokowi ingin reklamasi memberi manfaat kepada masyarakat DKI, bukan pengembang.
Namun saat Jokowi mengmbail cuti kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pada 10 Juni 2014, Ahok yang saat itu menjadi Pelaksana Tugas Gubernur, mengeluarkan perpanjangan izin prinsip untuk Pulau F, G, I, dan K yang sebelumnya ditolak Jokowi. Setelah dilantik menjadi Gubernur definitif mengganti Jokowi yang dilantik menjadi Presiden, pada 23 Desember 2014 Ahok menerbitkan izin pelaksanaan Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha Agung Podomoro Land. Â Padahal Ahok dilantik tanggal 19 November 2014. Artinya izin tersebut keluar hanya sekitar 26 hari setelah Ahok resmi menjadi Gubernur.
Dari uraian di atas, penerbitan izin prinsip dan izin pelaksanaan reklamasi baik yang dikeluarkan Fauzi Bowo maupun Ahok cacat hukum karena tidak melalui badan pelaksana. Hal ini yang menjadi dasar pencabutan izin 13 pulau reklamasi. Selain memiliki dasar kuat, Pemprov DKI juga kemungkinan tidak akan digugat mengingat sampai saat ini belum ada aktifitas penimbunan di area tersebut sehingga tidak menimbulkan kerugian apa pun bagi pengembang. Â Â
Sedang izin 4 pulau lainnya yakni C, D, G dan N tidak dicabut karena pulaunya sudah terbentuk. Pemprov DKI hanya bisa mengambil-alih pulau-pulau tersebut karena berdasar Keppres 52/1995, seluruh lahan hasil reklamasi menjadi milik negara, dalam hal ini Pemprov DKI dengan status Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
Sementara pengembang yang melaksanakan reklamasi diberi prioritas untuk menggarap antara 35-49,5 persen dari total luas lahan untuk dikomersilkan dengan status Hak Guna Usaha (HGU).
Nilai  kontribusi tambahan yang dimaksud mestinya berasal dari 35-49,5 persen lahan yang diberikan kepada pelaksana reklmasi dengan status HGU tersebut, bukan dihitung dari seluruh luas lahan. Hal ini sesuai dengan Keppres 52/1995. Dengan demikian, kemungkinan nilainya juga tidak sebesar yang digembor-gemborkan selama ini.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H