Meski aturannya sudah jelas dan selama ini telah disepakati dengan semangat menjauhkan lembaga pendidikan dari kegiatan politik praktis, namun jika sudah menyangkut kepentingan, semua bisa berubah. Demikian setidaknya yang tersirat dari pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Sungguh kita benar-benar terkejut ketika Tjahjo Kumolo tidak mempermasalahkan jika kampanye Pemilihan Presiden 2019 dilakukan di lembaga pendidikan, termasuk pesantren. Sebab para siswa, khususnya di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), sudah memiliki hak untuk memilih.
Lebih jauh politisi PDI Perjuangan itu mendasarkan argumennya bahwa semua lini masyarakat harus didatangi dalam rangka sosialisasi dan kampanye Pilpres.
Hal senada disampaikan politisi Golkar yang juga kader Nahdlatul Ulama (NU) Nusron Wahid. Menurut Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ini, di dalam komplek pesantren bukan hanya terdapat lembaga pendidikan dan masjid, namun juga rumah pemilik atau pengasuhnya yang umumnya kyai NU.
Pernyataan Tjahjo dan Nusron muncul di tengah kontroversi safari politik dua calon wakil presiden yakni KH Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno ke pesantren-pesantren. Terkait kegiatannya, baik Ma'ruf maupun Sandiaga, sudah mendapat warning dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut Komisioner KPU Wahyu Setiawan, pesantren termasuk sebagai lembaga pendidikan yang tidak boleh digunakan sebagai tempat kampanye.
Menarik mengulik pernyataan Tjahjo Kumolo. Memperbolehkan pesantren sebagai tempat kegiatan kampanye, jelas bertentangan dengan pasal 280 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang selengkapnya berbunyi, "Pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan".
Mengapa Tjahjo Kumolo, Nusron dan beberapa politisi lain, tiba-tiba permisif terhadap penggunaan lembaga pendidikan untuk tempat kampanye? Jika dasarnya di tempat itu ada warga negara yang sudah memiliki hak pilih, maka seyogyanya rumah ibadah; masjid, gereja, klenteng dan lain-lain, juga tidak haram untuk kegiatan politik praktis.
Jika Thajo dan Nusron mendasarkan argumen bahwa di lingkungan pesantren ada warga negara yang memiliki hak pilih, dan juga rumah kyai pengasuhnya, maka dengan logika yang sama kampanye yang diselenggarakan di masjid tidak perlu dlarang karena di situ ada jamaah yang juga memiliki hak pilih dan marbot yang tinggal di dalam komplek masjid.
Belakangan Tjahjo meralat ucapannya. Peserta Pilpres, juga Pemilu Legislatif, boleh hadir ke tempat pendidikan dan kantor pemerintahan jika adanya undangan dan tanpa atribut kampanye pemilu.
Kita khawatir alasan sebenarnya bukan seperti yang didalilkan, tetapi karena lebih menguntungkan. Seperti diketahui Ma'ruf Amin yang menjadi pendamping petahana Joko Widodo merupakan kader NU, mantan Rais Aam PBNU sekaligus Ketua Umum MUI. Pasangan ini diusung PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, Hanura serta PKPI.
Pesantren, yang umumnya dikelola warga NU, menjadi strategis untuk mendulang suara. Secara emosional, warga Nahdliyin tentu lebih dekat dengan Ma'ruf Amin dibanding Sandiaga yang berpasangan dengan Prabowo Subianto dan diusung Gerindra, PKS, PAN serta Demokrat.