Pasca terkuaknya kebohongan Ratna Sarumpaet, kritik kubu Prabowo Subianto terhadap pertemuan  tahunan (annual meeting) International Monetary Fund (IMF) -- World Bank Group (BWG) serta ASEAN Leaders Gathering (ALG) di Nusa Dua, Bali, 8-14 Oktober 2018 kian menjadi-jadi.Â
Desakan agar agenda tahunan bos IMF dan Bank Dunia dibatalkan dengan menggunakan bencana alam sebagai landasan, membuat polemik menjadi tidak menarik.
Kritik kubu oposisi awalnya sudah bagus. Mereka menyoroti besarnya anggaran yang disediakan pemerintah yakni mencapai Rp 855,5 miliar. Anggaran tersebut sudah disepakati bersama DPR RI sejak awal tahun 2017.Â
Namun ada juga anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan lain-lain yang disebut Kepala Bappenas Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mencapai Rp 6,9 triliun.
Dana sebesar itu digunakan untuk pembangunan Underpass Ngurah Rai, Pelabuhan Benoa, Patung Garuda Wisnu Kencana, dan Tempat Pembuangan Akhir Sampah Suwung, yang mencapai Rp 4,9 triliun. Sementara biaya operasional penyelenggaran pertemuan IMF-World Bank sebesar Rp 1,1 triliun.
Presiden Jokowi membenarkan besaran dana yang digunakan untuk infrastruktur penunjang. Presiden berharap pertemuan seperti itu memberikan keuntungan bagi negara tuan rumah, sebagai ajang promisi wisata dan meningkatkan paling tidak memberikan citra yang baik terhadap Indonesia.
Namun polemik menjadi tidak konstruktif dan melenceng ketika Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief mengatakan partai yang selama ini menggunakan slogan partainya wong cilik justru telentang minta dicumbu IMF.
Nitizen lalu mengingatkan jika pertemuan IMF-Bank Dunia diajukan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2014 lalu. Hal itu kemudian dibenarkan oleh Menteri Keuangan (saat itu) Chatib Basri.
Publik yang mengikuti polemik ini awalnya mendapat banyak informasi dan pertarungan argumen yang membangun. Wajar kubu oposisi mengkritik. Besaran anggaran hanya titik pijak karena sesungguhnya yang dikuatirkan pihak oposisi adalah pengakuan lembaga-lembaga monoter atas "keberhasilan" capaian ekonomi pemerintahan Jokowi.
Mengapa? Sebab jualan utama kubu oposisi saat ini adalah "kebobrokan" ekonomi seperti kenaikkan harga kebutuhan pokok, jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang lainnya, hingga penguasaan kekayaan Indonesia oleh aseng dan asing.
Oposisi kuatir, setelah dijamu dan diajak plesiran di Bali, bos IMF dan Bank Dunia tidak objektif lagi menilai kondisi ekonomi Indonesia. Terlebih faktanya, selama beberapa bulan ini Managing Director International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde memang kerap memuji ekonomi Indonesia. Dan mungkin pujian itu kian melangit setelah annual meeting di Bali.