Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Akankah Kunjungan Jokowi Mampu Meredam Gejolak Gusdurian?

8 September 2018   17:30 Diperbarui: 8 September 2018   23:27 3287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi bersama keluarga Gus Dur. Foto: tribunnews.com/Biro Pers Setpres

Berapa banyak jumlah Gusdurian, sebutan untuk pengikut almarhum KH Abdurrahman Wahid, belum bisa dipastikan. Tetapi jika ada yang menyebut Gus Dur adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan NU adalah Gus Dur, hanya sedikit yang membantahnya. Bahkan seluruh Nahdliyin atau warga NU, rasanya tidak ada yang tidak mengenal Gus Dur.

NU memiliki banyak tokoh terkenal, tetapi keterkenalan dan kharisma Gu Dur masih sulit ditandingi. Selain pernah menjadi Ketua Umum Tanfidziyah (Dewan Pelaksana) PBNU selama tiga periode sejak 1984-1999, Gus Dur dikenal sebagai reformis di tubuh NU. 

Keberadaan NU yang sempat mati suri setelah tidak lagi menjadi partai politik karena dipaksa fusi atau bergabung dengan partai-partai Islam lainnya di bawah payung Partai Persatuan Pembangunan tahun 1971, kembali diperhitungkan Soeharto setelah di bawah kendali Gus Dur.

Meski mendukung Pancasila sebagai ideologi atau azas tunggal negara, dan bahkan bergabung dengan Golkar hingga dirinya sempat menjadi anggota MPR, namun kritik keras Gus terhadap Soeharto tidak pernah luntur.

Setelah mengkrikit pembangunan waduk Kedung Ombo yang menenggelamkan puluhan desa di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah yang dibiayai Bank Dunia, Gus Dur juga menolak bergabung dengan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) bentukan Soeharto dan dipimpin BJ Habibie.

Akibat sikapnya, Gus Dur pernah beberapa kali hendak ditangkap oleh kaki tangan Soeharto namun selalu lolos karena memiliki kedekatan dengan LB Moerdani, jenderal penting di masa Ode Baru meski akhirnya tersingkir karena menyarankan agar anak-anak Soeharto tidak berbisnis.

Gus Dur baru melepas PBNU setelah mendirikan PKB, di mana dirinya menjadi ketua dewan penasehat sementara posisi ketua umum dipercayakan kepada Matori Abdul Djalil. Gus Dur kemudian terpilih menjadi presiden atas manuver pendiri sekaligus Ketua Umum PAN (saat itu) Amien Rais dan kawan-kawan yang tidak menghendaki Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menjadi presiden.

Namun karena banyak kebijakannya yang tidak sejalan dengan Amien Rais dan kawan-kawan, Gus Dur akhirnyas dipaksa lengser melalui Sidang Umum MPR dan digantikan oleh Megawati.

Dengan sederet prestasi dan keberhasilannya menaikkan pamor NU di pentas publik, baik sebagai kekuatan sosial keagamaan maupun politik, meski setelah Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984 NU tidak lagi berpolitik praksis, tidak berlebihan jika kemudian Gus Dur menjelma menjadi ikon NU. 

Bahkan setelah wafat Desember 2009, pendukungnya tetap setiap mengikuti ajaran Gus Dur yang juga ajaran NU. Salah satu yang paling menonjol adalah penerimaannya terhadap komunitas agama lain. Bahkan Gus Dur pernah ke gereja dan mengunjungi Israel, yang bagi sebagian Muslim diharamkan.

Antara PKB dan NU meski secara organisasi terpisah dan berbeda, tetapi sulit untuk tidak mengatakan jika PKB adalah kendaraan politik Nahdliyin. Hanya saja, setelah Gus Dur mundur dari pentas politik, PKB mengalami perpecahan akut bahkan sempat menimbulkan dualisme kepemimpinan yakni antara Muhaimin Iskandar dan Zanubba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid, putri tertua Gus Dur. 

Tampaknya saat itu Gus Dur tidak mau terlalu jauh mencampuri konflik anaknya dengan keponakannya tersebut sehingga Muhaimin berada di atas angin. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya mengakui PKB versi Muhaimin. Pada Pemilu 2009, PKB Muhaimin yang diterima KPU meski sempat terjadi rebutan nomor urut di acara pengambilan nomor urut peserta Pemilu 2009. 

Buntutnya, kubu Yenny Wahid dan para pendukung Gus Dur menyingkir dan disingkirkan dari PKB Muhaimin. Meski demikian, suara Gusdurian tidak beralih ke partai lain. Bahkan Yenny Wahid tidak mau masuk ke Gerindra meski suaminya Dhohir Farisi merupakan kader partai besutan Prabowo Subianto tersebut.

Kini posisi Gusdurian kembali mendapat perhatian akibat ulah Muhaimin Iskandar yang menolak penunjukan Mahfud MD sebagai pendamping petahana Presiden Joko Widodo di Pilpres 2019. 


Muhaimin yang sejak dua tahun terakhir menggunakan 11 juta suara PKB sebagai alat tawar agar dirinya dijadikan cawapres, secara frontal menolak Mahfud yang selama ini dikenal sebagai Gusdurian. Di masa pemerintahan Gus Dur, Mahfud pernah dua kali menjadi menteri yakni Menteri Pertahanan dan Menkum HAM yang dipangkunya selama 20 hari karena Gus Dur keburu lengser diganti Megawati.

Tak pelak, berita gagalnya Mahfud sebagai cawapres Jokowi menimbulkan gelombang protes di kalangan Nahdliyin, utamanya Gusdurian, meski penggantinya Rais Aam PBNU KH Ma'ruf Amin. Hal ini disadari betul oleh Jokowi. 

Kehilangan suara Gusdurian bisa menjadi persoalan serius, meski seperti disebutkan di atas, jumlahnya tidak terpetakan. Maka bisa dibaca ke mana tujuan Jokowi ketika menyambangi kediaman Gus Dur di Ciganjur untuk menemui Hj Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid.

Akankah Gusdurian tetap mengikuti garis politik PKB yang mendukung Jokowi? Jika melihat sikap Mahfud MD yang tetap berada di Istana sebagai anggota Dewan Pengarah BPIP, kemungkinan suara Dusdurian berada di belakang Jokowi. 

Tetapi jangan lupa, lawannya, Prabowo Subianto memiliki akar yang lebih kuat di benak Gusdurian. Penolakan Mahfud MD oleh Muhaimin bisa dijadikan penguat alasan mengapa mereka akhirnya memilih Prabowo. Bukan tidak setia dengan PKB, tetapi lebih sebagai cara untuk menunjukkan eksistensinya.

Artinya, jika kelak suara Gusdurian, yang berarti suara NU, benar-benar terbelah, salah satunya karena "kesalahan" Muhaimin.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun