Rais Aam PBNU KH Ma'ruf Amin ternyata justru menjadi beban bagi petahana Joko Widodo. Bukan hanya hasil survei LSI Denny JA yang memaparkan "fakta" tersebut, namun munculnya friksi di internal koalisi juga bisa menjadi penandanya.
Jika sebelumnya NU disebut-sebut tidak bulat mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf, kini soliditas dukungan Golkar di ambang perpecahan setelah dengan cerdik Prabowo Subianto memilih Sandiaga Salahuddin Uno sebagai cawapres.
Seperti diketahui LSI membeber hasil survei yang digelar pada 12-19 Agustus 2018 dengan metode multistage random sampling di 34 provinsi. Hasilnya elektabilitas Jokowi turun menjadi 52,2 persen. Padahal sebelum didampingi Ma'ruf Amin, elektabilitas Jokowi mencapai 53,6 persen. Pemilih dari kalangan terpelajar dan non-Muslim menyumbang angka penurunan terbesar yakni 40.4 persen dan 22,8 persen.
Hasil survei LSI tidak berbeda jauh dengan opini yang bersliweran di media, baik mainstream maupun media-media sosial. Penunjukkan KH Ma'ruf Amin dianggap sebagai bentuk "pengingkaran" terhadap suara-suara yang selama ini kecewa dengan penguatan isu agama yang seolah justru mendapat "legitimasi" dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) di bawah kepemimpinan Ma'ruf Amin.
Ucapan Antoni boleh jadi hanya untuk menghibur diri. Sebab gejolak sebagai dampak terpilihnya Ma'ruf Amin masih terus berlanjut dan jika tidak dilokalisir, terutama di sisi opini, akan kian membesar bak bola salju. Apalagi dari tiga hal besar yang menjadi penyebabnya, sulit untuk diperbaiki.
Pertama, suara Nahdlatul Ulama. Benar, dalam sejarah organisasi Islam terbesar di Indonesia ini, perbedaan pendapat dianggap sebagai rahmatan lil 'alamin, bagian dari karunia Tuhan. Perdebatan panas hingga saling ejek bisa tiba-tiba berubah cair menjadi guyonan.
Tetapi klaim tersebut tidaklah sepenuhnya tepat jika melihat perseteruan antara Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dengan Zanuba Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid sebagai representasi Gusdurian- pengikut KH Abdurrahman Wahid.Â
Setelah memecat Yenny Wahid tahun 2008, Muhaimin juga memecat Lily Wahid tahun 2013 lalu sehingga trah Gus Dur di PKB benar-benar dihabisi. Sampai hari ini, atau 12 tahun sejak meledaknya perseteruan, kedua pihak masing belum cair dan belum menganggap silang pendapatnya sebagai guyonan.
Tidak mengherankan jika kasus penjegalan Mahfud MD, yang merupakan Gusdurian sejati, oleh Muhaimin dengan dibantu Kyai Ma'ruf dan jajaran PBNU, ibarat membuka luka lama. Ungkapan Mahfud bukan kader NU sangat fatal dan tidak akan berubah menjadi guyonan setidaknya hingga selesai Pilpres 2019.Â
Yenny Wahid bahkan menegaskan suara NU ke Jokowi tidak akan bulat. Hal senada disampaikan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai NasDem, Effendi Choirie alias Gus Choi yang notabene pendukung Jokowi.
Kedua, pemilih non-Muslim dan Ahoker. Benar, beberapa relawan yang mangku sebagai Ahokers, sebutan untuk pendukung Basuki Tjahaja Purnama, sudah mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Setidaknya itu yang terpancar kala 100-an berkumpul di Cikini bersama Ruhut Sitompul, kini politikus PDIP, Jack Lapian dari BTP Network dan lainnya.Â