Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Sowanisasi Prabowo Kendurkan Semangat Ganti Presiden

17 Agustus 2018   09:14 Diperbarui: 17 Agustus 2018   09:51 1547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Roadshow pasangan Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno ke kubu lawan cukup cerdik untuk mengimbangi "kemegahan" tim pemenangan dan besarnya logisltik pasangan petahana Joko Widodo -- Ma'ruf Amin. Tetapi jika tidak hati-hati, strategi merangkul justru menjadi bumerang karena mendinginkan mesin pendukungnya yang sudah panas sejak setahun terakhir.

Seperti diketahui setelah mengunjungi kantor PP Muhammadiyah, Prabowo-Sandiaga sowan ke Jusuf Kalla (JK) dan kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang secara implisit berada di kubu lawan. 

Kini keduanya pun tengah meminta waktu bertemu Jokowi. Menurut Prabowo, kunjungan ke tokoh-tokoh tersebut untuk silaturahim sekaligus meminta doa restu.

Tidak ada yang salah dengan langkah politik Prabowo-Sandiaga. Bahkan layak diapresiasi karena bisa meredam potensi munculnya gejolak selama proses pilpres yang memakan waktu hingga 8 bulan dari mulai pendaftaran sampai pencoblosan pada tanggal 17 April 2019 mendatang. 

Perbedaan pendapat, perang statemen hingga negative campaign di antara tim sukses kedua kubu adalah titik panas yang bisa merembet ke akar rumput jika tidak tidak antisipasi dari sekarang.

Tetapi langkah tersebut akan merugikan Prabowo-Sandiaga karena seolah antiklimaks. Dorongan kuat kubu oposisi untuk mengganti presiden yang membuncah selama ini, tereduksi bahkan menjadi dingin. 

Citra Prabowo yang tegas dan "sangar" mendadak hilang, berganti wajah lembut nan santun. Ketua Umum Partai Gerindra ini tentu tahu, jika citra itu yang muncul hingga hari pencoblosan, sama saja dengan memberi tiket gratis periode kedua kepada Jokowi.

Berpijak dari pemahaman itu, kita meyakini ada tujuan terselubung di balik manuver politik Prabowo.  Apa itu?

Pertama, kemungkinan untuk meminimalisir perang negative campaign di udara karena jika frontal Prabowo kalah telak mengingat kubu Jokowi didukung kekuatan media yang luar biasa. 

Dua pemilik grup media besar yakni MNC Group (Harry Tanoe/Perindo) dan Media Indonesia (Surya Paloh/Partai Nasdem) berada di belakang Jokowi. 

Media yang tidak terafiliasi dengan kekuatan politik seperti Kompas Gramedia, Trans Corp, Tempo dan Surya Citra Media yang menaungi Indosiar dan SCTV, tentu juga tidak akan membiarkan kubu Prabowo memanfaatkannya untuk jualan politik.

Satu-satunya kekuatan yang tersisa tinggal media sosial. Harus diakui kubu Prabowo lebih mendominasi ranah ini dibanding Jokowi. Salah satu ukurannya, konten negatif terhadap pemerintah (dan Jokowi serta PDIP sebagai partai penopang utama) lebih sering viral dibanding sebaliknya. 

Tidak heran jika pemerintah getol memproteksi dengan berbagai cara, termasuk menerapkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) secara keras hingga memakan sejumlah korban. 

Pemerintah juga tengah menyusun aturan yang akan memberikan denda kepada penyedia platform yang digunakan untuk menyebarkan ujaran permusuhan dan hoaks.

Tetapi semua itu akan sia-sia jika tim pemerintah tidak kreatif menghadirkan konten positif. Tidak mungkin memenjarakan ribuan pengguna media sosial. Tidak mungkin juga menakut-nakuti pemilik platform, khususnya media sosial, di bawah ancaman denda. 

Mengedukasi masyarakat agar tidak memproduksi dan menyebarkan konten negatif dan hoaks hanya mungkin efektif jika "kampanye" pemerintah sama dengan realita di lapangan. Sebagai contoh, tidak mungkin nitizen mau membagikan "berita" kelangkaan telor jika telor di pasar melimpah dengan harga terjangkau. 

Percuma pemerintah menyampaikan "berita" harga daging Rp 80 ribu per kilogram karena faktanya emak-emak masih membeli dengan harga di atas Rp 100 ribu per kilogram.

Namun jika kubu oposisi hanya mengandalkan media sosial untuk melawan media arus utama, tentu tidak realitis. Jalan tengahnya adalah meminimalisir perang di media utama, sambil bergerilya di media sosial. Menampilkan politik damai di ruang-ruang publik seperti sowan dan membungkuk ke kubu lawan, adalah salah satunya.  

Kedua, kemungkinan sebagai counter terhadap kekuatan tim sukses dan logistik yang dimiliki petahana. Alasan ini mendapatkan pijakannya pada beberapa pernyataan tim Prabowo seperti Habiburokhman, yang menyebut tidak akan membentuk tim juru bicara sebanyak Jokowi karena tidak memiliki dana. Sebagai gantinya tim Prabowo mengandalkan emak-emak di lapangan yang tidak terstruktur sehingga logikanya tidak perlu mengeluarkan biaya.

Artinya, ketika tidak bisa melawan kekuatan dana dan jumlah personil, strategi merangkul menjadi pilihan terbaik. Kehadiran Farhat Abbas, Razman Arief Nasution, Ali Mochtar Ngabalin dan lain-lain di kubu Jokowi yang konon disiapkan untuk "perang terbuka" menjadi sia-sia jika tidak ada lawan karena Fadli Zon, Ahmad Dhani, Mardhani Ali Sera disuruh "tiarap" dari pernyataan-pernyataan kontroverisal yang selama ini terlanjur melekat pada dirinya. 

Ketiga, membuka jalan untuk merusak basis pendukung lawan. Prabowo dan Sandiaga akan lebih leluasa dan "diterima" kaum Nahdliyin karena sudah "mendapat restu" di pusat. Demikian juga ketika mereka masuk ke jantung Golkar dan lainnya yang sudah dipersepsikan sebagai pendukung Jokowi. Tidak akan ada penolakkan karena Prabowo sudah "meminta izin" kepada JK. 

Pertanyaan, apakah sowanisasi tersebut sebanding dengan penurunan isu-isu panas yang menjadi tagline pendukungnya? Sebab jika sampai muncul anggapan Prabowo juga bagian dari Jokowi, yang berarti keduanya hanya beda-beda tipis, semangat ganti presiden bisa loyo sebelum tertunaikan.

Prabowo dan tim suksesnya harus menghitung ulang strategi merangkulnya sebelum menjadi sesalan. Tetap fight hingga puputan secara elegan, tanpa harus dimaknai sebagai penghalanan segala cara, apalagi jualan ayat agama, jauh lebih terhormat, apapun hasilnya.     

Salam @yb  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun