Meski pasangan calon yang menjadi peserta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 sudah hampir final- tinggal menunggu penetapan KPU, tetapi riak-riak dan manuver politik yang terjadi sebelum petahana Joko Widodo dan penantangnya Prabowo Subianto memutuskan cawapresnya, masih menyisakan sejumlah tanya.
Bukan hanya tudingan adanya politik transaksional seperti yang dilontarkan Wasekjen Demokrat Andi Arief, tetapi keputusan Demokrat tetap di posisinya meski "terluka" menarik diulik karena beberapa fakta baru diketahui saat ini.
Ya, mengapa Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tetap mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno padahal syarat koalisi tidak dipenuhi?Â
Benar, SBY berulang kali membantah posisi cawapres bagi putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai bagian dari syarat koalisi. Bahkan Prabowo ikut mengamini saat keduanya menggelar jumpa pers usai pertemuan tertutup di Kertanegara, kediaman Prabowo.
Tetapi sebagian publik meragukan hal itu karena tiga hal. Pertama, pernyataan Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Rommy) ketika membantah alasan SBY gagal membangun koalisi dengan kubu Jokowi.
SBY beralasan terganjal karena status hubungannya dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang belum ditakdirkan normal kembali. Namun Rommy menyebut tawaran SBY terlalu tinggi yakni posisi cawapres bagi AHY. SBY membantah pernyataan itu disertai ancaman, namun Rommy menyahutnya dengan kalimat, "kutahu yang kau mau."
Kedua, kepanikan PKS usaI pertemuan SBY dengan Prabowo yang berbuah dukungan terbuka. PKS tentu sudah mengetahui "bawaan" SBY. Andai saja sejak awal Prabowo tidak menampakkan keraguan terhadap satu dari sembilan kader yang disodorkan untuk memenuhi isi perjanjian politik sebelumnya, tentu bisa tenang. Tetapi Prabowo hanya "pandai memuji" tanpa terlihat ada niatan untuk benar-benar mengambil kader PKS sebagai cawapres.
PKS yang merasa akan ditinggal jika tetap ngotot meminta cawapres, seolah "meminta tolong" Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama. Hasil ijtima, Prabowo harus mengambil Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri atau Ustadz Abdul Somad (UAS). Namun karena UAS langsung menolak, praktis Salim Segaf menjadi calon tunggal.
Dari situ terlihat sejak kehadiran SBY di koalisi, PKS mulai merasakan adanya ancaman serius terhadap posisi cawapres yang menjadi "haknya".
Ketiga, reaksi frontal Andi Arief begitu tahu Prabowo sudah memilih Sandiaga. Selain "menghina" Prabowo sebagai jenderal kardus yang dimaksudkan sebagai jenderal yang mendasarkan keputusannya pada uang, bukan elektabilitas (ingat, dalam berbagai survei elektabilitas AHY paling tinggi di antara beberapa nama bakal cawapres). Andi Arief bahkan menyebut PKS dan PAN masing-masing menerima mahar politik senilai Rp 500 miliar. Â Â
Dari tiga hal itu, bagaimana publik percaya tidak ada nama AHY di balik dukungan SBY terhadap Prabowo?